Jumat, 25 Oktober 2013

“HADITS”
“TENTANG IMAN ISLAM IHSAN DAN REALISASI IMAN”

(Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadits)
Dosen Pengampu : Miftachur Rif’ah Mahmud,M.Ag.


Disusun oleh :
Husain Imadudin
M. Choirurohman
Rangga Pradikta (215-13-006)


PROGDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai seorang muslim yang diwajibkan untuk bertaqwa kepada Allah SWT, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu iman, islam serta ihsan agar orientasi dalam ibadah kita tidak salah maka dengan mengetahui arti yang sesungguhnya tentang iman, islam dan ihsan serta realisasi iman pada kehidupan sehari-hari diharapkan syariat islam yang kita jalani menjadi diridhai oleh Allah SWT.
Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat manusia melalui perantara nabi Muhammad SAW yang merupaka penyempurna agama-agama yang sebelumnya telah ada, dengan pedoman hidup berupa kitabullah Al Qur’an yang lafadz dan maknanya diciptkan oleh Allah sendiri, yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW berupa wahyu secara mutawatir dengan perantara malaikat jibril.
Sebelum mengetahui lebih jauh tentang apa itu islam maka kita juga harus mengetahui apa itu iman, yang merupakan dasar syariat yang harus dimiliki oleh setiap muslim, dalam kajian filsafat, iman merupakan suatu logika berfikir kemudian islam adalah perbuatan dari logika berfikir tersebut dan ihsan merupaka hasil atau buah dari perbuatan yang telah dilakukan, dengan kata lain iman islam dan ihsan merupakan aspek terpenting yang harus dimiliki setiap muslim.
Setelah mengetahui apakah itu iman islam dan ihsan maka islam telah mempersiapkan serta mengatur tata cara untuk merealisasikannya dalam segala bentuk perbuatan yang kita lakukan, seperti yang terkandung dalam hadist dalam makalah ini yaitu tentang, bagaimana cara menghormati tamu, cara untuk bertetangga agar senantiasa tercipta hubungan yang harmoni, ataupun adab dalam berbicara.
Rumusan Masalah
1.      Mengetahui pengertian iman islam dan ihsan
2.      Mengetahui arti dan maksud hadis tentang realisasi iman dalam:
a.      Memuliakan tamu
b.      Adab dalam berbicara
c.       Tidak mengganggu muslim lainnya
d.      Sesama muslim adalah saudara
Maksud dan Tujuan
Mengetahui arti dan maksud dari hadits tentang iman islam ihsan dan realisasi iman


BAB II
PEMBAHASAN
Arti Hadits
Iman Islam dan Ihsan
1.      Jibril mendatangi nabi dan bertanya, apakah itu iman? Nabi menjawab: iman adalah meyakini adanya Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab –Nya,  pertemuan dengan Allah, Rasul-rasul-Nya, dan beriman kepada hari kebangkitan. Kemudian Jibril bertanya lagi, apa itu islam? Nabi menjawab: islam adalah meyakini Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain, mendirikan shalat, menunaikan zakat wajib, dan puasa ramadhan, kemudian Jibril bertanya lagi, apa itu ihsan? Ihsan adalah menyembah Allah, seperti hal nya kamu melihat Allah, maka jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu. Dan Jibril bertanya lagi, kapan hari kiamat?  Nabi menjawab: tidakkah yang ditanya lebih tau dari yang bertanya, akan ku kabarkan padamu tanda-tanda nya: jika seorang hamba melahirkan majikannya, dan jika penggembala unta saling bertinggi-tinggian bangunan, dan yang lima lagi sungguh tidak ada yang lebih tau  kecuali Allah, kemudian nabi membaca ayat (innallaha ‘indahu ‘ilmussaa’ati) sesungguhnya Allah yang mengetahui kiamat. Kemudian Jibril pergi dan nabi berakata: ikutilah/carilah dia, dan para sahabat tidak melihat siapa pun, maka nabi berkata: itu adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan manusia agama mereka.*
2.      Dari ibnu ‘umara r.a berkata, rasulullah saw bersabda: islam dibangun atas lima: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi Muhammad utusan Allah,  dirikanlah shalat, tunaikan lah zakat, dan berhaji serta berpuasa ramadhan*.H.R Bukhari.
Realisasi Iman
1.      Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sakiti tetangganya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia memuliakan tamunya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir maka hendaknya bicara yang baik atau diam.*H.R Bukhari-5671.
2.      Orang islam adalah orang islam lainnya  yang selamat dari lidahnya dan tangannya oleh orang muslim  dan orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan dari apa yang telah dilarang Allah swt. 
3.      Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka dari itu, ia tidak mendzaliminya dan tidak akan dianiaya orang lain, dan barang siapa yang membantu dalam memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya dan barang siapa yang melapangkan kesusahan seorang muslim, Allah akan melapangkan kesusahannya dari kesusaha-kesusahan dihari kiamat dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat.*H.R Bukhari dan Muslim.
4.      Sesungguhnya orang mu’min bagi mu’min lainnya itu ibarat bangunan yang mana sebagian muslim itu menguatkan sebagian yang lain.*
5.      Rasulullah melihat orang-orang mu’min dalam saling menyayangi dan saling mencintai dan saling berkasih sayang itu seperti satu tubuh. Apabila sebagian tubuh ada yang sakit, maka seluruh tubuh tidak bisa tidur dan turut merasakan sakitnya.*

Penjelasan Hadits
1.     Hadits Iman Islam Ihsan
Hadits Pertama dan kedua
iman
Pengertian iman
        Secara bahasa iman berarti membenarkan (tashdiq), sementara menurut istilah ialah “membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatannya”. Sedang menurut istilah yang sesungguhnya ialah kepercayaan yang meresap kedalam hati, dengan penuh keyakinan, tidak bercampur dengan syak/ragu, serta memberi pengaruh terhadap pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari. Kata iman dalam Al-quran digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Ar- Raghib al-Ashfahani (ahli kamus Al-quran) mengatakan, iman didalam Al-quran terkadang digunakan untuk arti iman yang hanya sebatas dibibir saja padahal dalam hati dan perbuatannya tidak beriman, terkadang digunakan untuk arti iman yang hanya terbatas pada perbuatannya saja, sedang hati dan ucapannya tidak beriman dan ketiga kata iman terkadang digunakan untuk arti iman yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan di amalkan dalam perbuatan sehari-hari.
Secara etimologis kata islam diturunkan dari akar kata yang sama dengan kata salam yang berarti “Damai”. Kata muslim (sebutan bagi pemeluk agama islam) juga berhubungan dengan kata islam, kata tersebut berarti ”Orang yang berserah diri kepada Allah”.
Islam memberikan banyak amalan keagamaan. Para penganut, umumnya di galakan untuk memegang lima rukun islam, yaitu lima pilar yang menyatukan muslim sebagai sebuah komunitas. Islam adalah syari’at Allah terakhir yang diturunkan-Nya kepada penutup para nabi dan Rasul-Nya, Muhammad bin Abullah Saw, ia merupakan satu-satunya agama yang benar. Allah tidak menerima agama dari siapapun selainnya. Dia telah menjadikannya sebagai agama yang mudah, tidak ada kesulitan dan kesusahan didalamnya, Allah tidak mewajibkan dan tidak pula membebankan kepada para pemeluknya apa-apa yang mereka tidak sanggup melakukunnya. Islam adalah agama yang dasarnya tauhid, syi’arnya kejujuran, parosnya keadilan, tiangnya kebeenaran, ruhnya kasih sayang.ia merupakan agama agung yang mengarahkan manusia kepada seluruh hal yang bermanfaat, serta melarang dari segala hal yang membahayakan bagi agama dan kehidupan mereka didunia .
Rukun (pilar-pilar) islam
          Islam di bangun diatas lima rukun. Seseorang tidak akan menjadi muslim yang sebenarnya hingga dia mengimani dan melaksanakannya yaitu:
Rukun pertama: syahadat (bersaksi) bahwa, tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwasanya Muhammad Rasulullah. Syahadat ini merupakan kunci islam dan pondasi bangunannya. Makna syahadat la ilaha illallah ialah : tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah saja,dilah ilahi yang hak, sedangkan ilahi selainnya adalah batil dan ilahi itu artinya sesuatu yang disembah. Dan makna syahadat: bahwasanya Muhammad itu adalah Rasulullah ialah: membenarkan semua apa yang diberitakannya, dan mentaati semua perintahnya srta menjauhi semua yang dilarang dan dicegahnya.
Rukun kedua: shalat:Allah telah mengsyari’atkan lima shalat setiap hari sebagai hubungana antara seorang muslim dengan Tuhanya. Didalamnya dia bermunajat dan berdo’a kepada-Nya,disamping agar menjadi pencegah bagi muslim dari perbuatan keji dan mungkar. Dan Alah telah menyiapkan bagi yang menunaikanya kebaikan dalam agama dan kemantapan iman serta ganjaran,baik cepat maupun lambat.Maka  dengan demikian seorang hamba akan mendapatkan ketenangan jiwa dan kenyamanan raga yang akan membuatnya bahagia di dunia dan akhirat.
Rukun ketiga: Zakat yaitu sedekah yang dibayyar oleh orang yang memiliki harta sampai  nishab(kadar tertenrtu) setiap tahun,kepada yang berhak menerimanya seperti kaum fakir dan lainya,diantara yang berhak menerima zakat.Zakat itu tidak di wjibkan atas orang fakir yang tidak memiliki nishab,tapi hanya di wajibkan atas kaum kaya untuk menyempurnakan agama dan islam mereka,meningkatkan kondisi dan akhlak mereka,menolak segala balak dari mereka dan harta mereka,mensuccikan mereka dari dosa,disamping sebagai bantuan bagi orang-orang yang membutuhkan dan fakir diantara mereka,serta untuk memenuhi kebutuhan keseharian mereka,sementara zakat hanyalah merupakan bagian kecil sekali dari jumlah harta dan rizki yang diberikan Allah kepada mereka.
Rukun keempat: Puasa yaitu selama satu bulan saja setiap tahun,pada bulan ramadhan yang mulia,yakni bulan kesembilan dari bulan-bulan hijriyah.Kaum muslimin secara keseluruhan serempak meninggalkan kebutuhan-kebutuhan pokok mereka,makan,minum,dan jimak di siang hari mulai terbit fajar sampai matahari terbenam.Dan semua itu akan di ganti oleh Allah bagi mereka berkat karunia dan kemurahan-Nya,dengan penyempurnaan agama dan iman mereka,serta peningkatan kesempurnaan diri,dan banyak lagi ganjaran dan kebaikan lainya,baik di dunia maupun di akhirat yang telah di janjikan Allah bagi orang-orang yang berpuasa.
Rukun kelima: Haji yaiu menuju masjidil haram untuk melakukan ibadah tertentu. Allah mewajibkan atas orang yang mampu sekali seumur hidup,Pada waktu itu kaum muslimiin dari segala penjuru berkumpul di tempat yang paling mulia dimuka bumi ini,menyembah tuhan yang satu,memakai pakaian yang sama,tidak ada perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin,antara si kaya dan si fakir dan antara yang berkulit putih dan berkulit hitam.Mereka semua melaksanakan bentuk-bentuk ibadah tertentu,yang terpenting diantaranya adalah: wukuf di padang arafah,tawaf di ka’bah,kiblatnya kaum muslimin,dan sa’i antara bukit shafa dan marwah.
Ihsan
        Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah swt. Sebab ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan darin-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat dimata Allah swt. Rasulullah Saw. Pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia. Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari aqidah dan bagian terbesar dari keislamannya karena, islam di bangun atas tiga landasan utama, yaitu iman, islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah Saw.dalam haditsnya yang sahih . Hadits ini menceritakan saat Rasulullah Saw. Menjawab pertanyaan malikat jibril – yang menyamar sebagai seorang manusia – mengenai islam, iman, dan ihsan. Setelah jibril pergi, Rasulullah Saw. Bersabda kepada sahabatnya, “ inilah jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.” Beliau menyebutbut ketiga hal diatas sebagai agama, dan bahkan Allah Swt. Memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-qur’an
.” Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. “ (Qs Al-baqarah:195)
“ Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan . . . .”(Qs. An-nahl : 90 )
Pengertan ihsan
Ihsan berasal dari kata ahsana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Allah Swt. Berfirman dalam Al-qur’an mengenai hal ini.
” Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri . . .”(Al-isra’:7)
“Dan berbuat baiklah (kpd orang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu . . “(Qs AL-Qashash: 77).
Ibnu katsir mengomentari ayat diatas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh mahluk Allah Swt.
Landasan syar’I ihsan
            Pertama Al- qur’anul karim
               Dalam Al-qur’an, terdapat 166 ayat yang berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-qur’an. Berikut ini adalah beberapa ayat yang menjadi landasan akan hal ini.
“ Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnyaAllah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al- baqarah: 195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan kebaikan.” (Qs.An-nahl:90)
“. . . . .serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia. . . .”(Qs. Al-baqarah:83)
“Dan berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan para hamba sahayamu. . . . “ (Qs. An-nisa’: 36)
        Kedua, As-sunnah
Rasulullah Saw. Pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab,ini merupakan puncak harapan, perjuangan seorang hamba. Bahkan, diantara hadits-hadits mengenai ihsan tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah Saw. menerangkan mengenai ihsan –Ketika ia menjawab pertanyaan malaikat jibril tentang ihsan, dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh jibril, dengan mengatakan ,” Engkua menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”(HR. Muslim).
Aspek pokok dalam ihsan
Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental ketiga aspek tersebut ibadah, muamalah, dan ahklak.
Ibadah
kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menjalankan semua jenis ibadah, seperti solat, puasa, haji dan sebagainya dengan cara yang benar. Yaitu dengan menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksnaan ibadah-ibadah tersebut ia penuhi dengan cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah selalu memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh Allah. Minimal seorang hamba harus merasa bahwa Allah selalu memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan.inilah maksud dari perkataan Rasulullah Saw. yang berbunyi,
“Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka selain dari jenis ibadah itu tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga seperti ibadah lainnya seperti jihad, menghormati sesame mukmin, mendidik anak, membahagiakan istri, dan menjalankan yang mubah semata-mata demi mencari dan mendapatkan Ridho Allah Swt. dan masih banyak lagi. Rasulullah menghendaki umatnya dalam keadan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ingin ingin mewujudkan ihsan dalam setiap ibadahnya.
Tingkat ibadah dan derajatnya
Berdasarkan nash-nash dalam Al-qur’an dan sunnah, maka ibadah mempunyai tiga tingkatan, yang pada setiap tingkatan derajatnya seorang hamba tidak akan dapat mengukurnya. Karena itulah kita berlomba-lomba untuk meraihnya, pada setip derajat ada tingkatan tersendiri dalam surga. Yang tertinggi adalah derajat muhsinin, Dan ia akan menempati jannatul firdaus, derajat tertinggi dalam surga. Kelak penghuni surgs tingkat bawah akan memandangi penghunu surga surga tingkat atas, laksana penduduk bumi memandangi bintang-bintang di langit yang menandakan betapa jauhnya jarak antara mereka.
Adapun tiga tingkatan ter sebut adalah sebagai berikut:
1.      Tingkat At-taqwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajad yang berbeda-beda.
2.      Tingkat Al-bir, yaitu tingkat menengah dengan derajat yang berbeda-beda.
3.      Tingkat Al-ihsan, yaitu tingkat paling atas dengan derajat yang berbeda-beda.

Tingkat taqwa
Tingkat taqwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk kategori Al-muttaqin, sesuai dengan derajad ketaqwan masing-masing.
Taqwa akan menjadi sempurna dengan menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi serta meninggalkan segala apa yang dilarangNya, hal ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah saja dapat mengakibatkan sangsi, dan melakukan salah satu laranganNya saja adalah dosa. Dengan demikian puncak taqwa adalah menjalankan semua perintah Allah serta menjauhi segala laranganNya.
Namun ada satu hal yang harus dipahami dengan benar, yaitu bahwa Allah Swt. Maha mengetahui mengetahui keadaan hamba-hambaNya yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan kelemahannya itu seorang hamba melakukan dosa. Oleh karena itu Allah membuat satu cara penghapusan dosa, yaitu dengan cara bertobat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah akan mengampuni hambaNya yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan hak-hak taqwa. Sementara itu, ketika seorang hamba naik peringkat puncak taqwa, boleh jadi ia akan naik peringkatnya pada peringkat bir atau ihsan. Peringkat ini disebut martabat taqwa, karena amalan-amalan yang ada pada derajat ini membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang dilakukannya. Adapun derajat yang paling rendah dari peringkat ini adalah derajat dimana seseorang  menjaga dirinya dari kekalnya dalam neraka, yaitu dengan iman yang benar dan diterima oleh Allah Swt.
Tingkat Al-bir
Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategoi Al-abror, hal ini sesuai dengan amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah Swt. hal ini dilakukan setelah mereka melakukan hal yang wajib, yakni yang ada pada peringkat At-taqwa.
Peringkat ini disebut derajat Al-bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan pada hal-hal yang sifatnya sunnah, sesuai sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta yang di haramkanNya. Amalan-amalan ini tidak diwajibkan oleh Allah kepada hambaNya, tetapi perintah itu bersifat anjuran, sekaligus terdapat janji pahala didalamnya.
Akan tetapi mereka yang melakukan amalan tambahan ini tidak akan masuk kedalam tingkatan Al-bir, kecuali mereka telah melaksanakan peringkat yang pertama, yaitu peringkat taqwa. Karena melaksanakan hal yang pertama menjadi syarat mutlak untuk naik keperingkat yang selanjutnya.
Dengan demikian,barang siapa yang mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang ia tidak mengimani unsure-unsur kaidaah iman dalam ihsan, serta tidak terhindar dari siksaan neraka , maka ia tidak dapat masuk kedalam peringkat ini. (Al-bir). Allah Swt. telah berfirman,
“Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaikan itu adalah taqwa, dan datangilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertaqwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (Qs. Al-baqarah: 189).
“ya tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan orang yang menyeru kepada iman, yaitu berimanlah kamu kepada tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang banyak berbuat baik.” (Al-imran: 193) .
Tingkat ihsan
Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun, mereka adalah orang yang telah melewati tingkat pertama dan kedua (peringkat At-taqwa dan Al-bir).
Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna, maka kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi yaitu : Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga keiklasan dan jujur dalam beramal.
Kedua, ihsaan adalah sensntiasa memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang dapat mendekat diri kepada Allah Swt. selama hal itu adalah sesuatu yang diridhaiNya dan dianjurkan untuk melaksanakannya.
Untuk dapat naik kemartabat ihsan dalam segala amal , hanya bisa dicapai melalui amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh Allah Swt. serta dilakukan atas dasar mencari ridha Allah Swt.

2.   Hadits Realisasi Iman
1.    Hadits 1 (memuliakan tamu)
Yang dimaksud dengan memuliakan tamu adalah memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin. Pelayanan yang baik tentu saja dilakukan berdasarkan kemampuan dan tidak memaksakan di luar dari kemapuan. Dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa batas kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari tiga hari tersebut termasuk sedekah.


Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah saw.:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْعَدَوِيِّ أَنَّهُ قَالَ سَمِعَتْ أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْ عَيْنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالُوا وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمُهُ وَلَيْلَتُهُ وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ. ((متفق عـليه
Artinya:
Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami, Laits telah menceritakan kepada kami, dari Sa’id bin Abi Sa’id, dari Abi Syuraih al-’Adawiy, berkata, Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, ia harus menghormati tamunya dalam batas kewajibannya. Sahabat bertanya, “yang manakah yang masuk batas kewajiban itu ya Rasulullah? Nabi menjawab, batas kewajiban memuliakan tamu itu tiga hari tiga malam, sedangkan selebihnya adalah shadaqah.” (Mutafaq Alaih)
Dalam batas kewajiban tersebut, tuan rumah wajib memberikan pelayanan berupa makanan sesuai dengan kemampuannya tanpa ada unsur memaksakan diri. Pelayanan tamu termasuk kategori nafkah wajib, dan tidak wajib kecuali bagi orang yang mempunyai kelebihan nafkah keluarga. Selain itu, termasuk kategori memuliakan tamu ialah memberikan sambutan yang hangat dan senantiasa menampakkan kerelaan dan rasa senang atas pelayanan yang diberikannya. Sikap yang ramah terhadap tamu jauh lebih berkesan di hati mereka dari pada dijamu dengan makanan dan minuman yang mahal-mahal tetapi disertai dengan muka masam. Memuliakan tamu di samping merupakan kewajiban, ia juga mengandung aspek kemuliaan akhlak.
Sebaliknya, seorang yang bertamu juga harus senantiasa memperlihatkan sikap koperatif dan akhlak yang baik, sehingga orang yang menerimanya merasa senang melayaninya. Adapun etika bertamu yang harus diperhatikan antara lain:

1. Masuk ke rumah orang lain atau tempat perjamuan, harus memberi salam, dan atau memberi hormat menurut adat dan tata cara masing-masing masyarakat.
2. Masuk ke dalam rumah melalui pintu depan, dan diperjamuan melalui pintu gerbang yang sengaja disediakan untuk jalan masuk bagi tamu.
3. Ikut berpartisipasi dalam acara yang diadakan dalam suatu perjamuan, selama kegiatan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
4. Duduk setelah dipersilahkan, kecuali di rumah sahabat karib atau keluarga sendiri.
5. Duduk dengan sopan.
Jika tamu yang datang bermaksud meminta bantuan atas suatu masalah yang dihadapinya, maka kita harus memberinya bantuan sesuai kemampuan. Bahkan meskipun tamu bersangkutan tidak mengadukan kesulitannya jika hal itu kita ketahui, maka kita berkewajiban memberikan bantuan dalam batas kemampuan yang kita miliki.
Jika ketentuan-ketentuan seperti disebutkan di atas dilaksanakan oleh segenap umat Islam, maka dengan sendirinya terjalin keharmonisan di kalangan umat Islam. Keharmonisan di antara umat Islam merupakan modal utama dalam menciptakan masyarakat yang aman dan damai.

2.   Hadits 1 (berbicara baik atau diam)
Berbicara merupakan perbuatan yang paling mudah dilakukan tetapi mempunyai kesan yang sangat besar, baik ataupun buruk. Ucapan dapat membuat seseorang bahagia, dan dapat juga menyebabkan orang sengsara, bahkan binasa. Orang yang selalui menggunkan lidahnya untuk mengucapkan yang baik, menganjurkan kebaikan dan melarang perbuatan-perbuatan jelek, membaca al-Qur’an dan buku-buku yang bermanfaat dan sebagainya, akan mendapatkan kebaikan atas apa yang dilakukannya. Sebaliknya, orang yang menggunakan lidahnya untuk berkata-kata jelek atau menyakiti orang lain, ia akan mendapat dosa, dan bahkan tidak mustahil akan membawa bahaya dan kebinasaan bagi dirinya. Oleh sebab itulah sehingga Rasulullah memerintahkan untuk berkata baik, dan jika tidak mampu mengucapkan yang baik maka diam merupakan pilihan terbaik.
Mengingat besarnya bahaya banyak bicara, Rasulullah saw. mengemukakan nilai sikap diam. Sehubungan dengan hal ini Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ أَ نَسٍ قَالَ :قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م: اَلصُّمْتُ حِكْمَة ٌوَقَلِيْلٌ فَاعِلُهُ. ((أخرجه البيهقى بسند ضعيف وصحيح أنه موقوف من قول لقمان حكيم
Artinya:
Dari Anas, ia berkata, telah bersabda Rasulullah saw., “diam itu suatu sikpa bijaksana, tetapi sedikit orang yang melakukannya.” (H.R. oleh al-Baihaqi, dengan sanad dha’if, dan memang betul bahwa hadis tersebut mauquf sebagai ucapan Luqman Hakim).
Orang yang menahan banyak berbicara kecuali dalam hal-hal baik, lebih banyak terhindar dari dosa dan kejelekan, daripada orang yang banyak berbicara tanpa membedakan hal yang pantas dibicarakan dan yang tidak pantas dibicarakan. Bahkan, dinyatakan oleh Rasulullah saw. yang dikutip oleh Imam al-Ghazali:
مَنْ وَقَى شَرَّ قَبْقَبِهِ وَذَبْذَبهِ وَلَقْلَقِهِ فَقَدْ وَقَى الشَرَّ كُلُّهُ. (رواه أبو منصور الديلمى عن أنس بسند ضعـيف)
Artinya:
Barangsiapa yang menjaga perut, farji, dan lisannya, maka dia telah menjaga seluruh kejelekan.”(H.R. Abu Manshur al-Dailamy dari Anas dengan sanad dha’if).
Ketiga hal yang disebutkan di atas merupakan perbuatan paling banyak mengkibatkan orang celaka yang salah satu di antaranya adalah banyak bicara. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa sikap diam itu selamanya baik, sebab hadis di atas bukanlah memerintahkan untuk diam, tetapi hanya menyarankan untuk memilih diam jika ucapan yang benar sudah tidak mampu diwujudkan. Yang paling bijaksana adalah menempatkan kedua kondisi tersebut sesuai dengan porsinya dan sejauhmana memberikan kemanfaatan. Dalam sebuah pepatah Arab dikatakan:
لِكُلِّ مَقَامٍ مَاقَالٌ وَلِكُلِّ مَقَالٍ مَقَامٌ
Artinya:
Tiap-tiap kondisi ada perkataan yang tepat, dan tiap-tiap ucapan ada tempatnya.”
Demikian pentingnya ucapan yang baik sehingga Allah swt. mensinyalir bahwa ucapan yang baik jauh lebih berharga daripada perbuatan yang tidak didasari oleh keikhlasan.

3.    Hadits kedua (Tidak mengganggu muslim yang lain)
Pesan pertama yang tekandung dalam hadis di atas adalah memberi motivasi agar umat Islam senantiasa berlaku baik terhadap sesamanya muslim dan tidak menyakitinya, baik secara fisik maupun hati. Mengingat pentingnya hubungan baik dengan sesama muslim, maka Rasulullah saw. menjadikannya sebagai ciri tingkat keislaman seseorang. Orang yang tidak memberikan rasa tenang dan nyaman terhadap sesamanya muslim dikategorikan orang muslim sejati.
Hadis di atas tidaklah bertolak belakang dengan hadis tentang rukun Islam, yang nota benenya jika telah terpenuhi maka seseorang sudah dianggap muslim. Hadis di atas lebih berorientasi moral (moral oriented) bahwa muslim yang sejati tidak hanya memenuhi rukun Islam secara formal, tetapi keislaman yang benar ialah di samping terpenuhinya rukun Islam, juga harus senantiasa tercermin dalam segala tingkah lakunya nilai-nilai moral yang islami.
Keislaman seseorang belumlah dianggap sempurna dan sejati jika hanya terpaku pada ibadah ritual sebagai kewajibannya terhadap Allah swt., lalu meremehkan hubungannya dengan sesama manusia. Ajaran Islam tidak sepenuhnya berdimensi Ilahiyah, tetapi juga berdimensi insaniyah,meskipun semuanya bermuara kepada ketaatan kepada Allah swt. Oleh sebab itu, berlaku baik kepada sesama manusia juga merupakan bagian dari ajaran Islam yang tidak dapat diabaikan.
Menyakiti sesama manusia mempunyai bentuk yang bermacam-macam. Namun dalam hadis di atas hanya menyebutkan dua anggota tubuh secara simbolik. Penggunaan tangan untuk gangguan fisik kepada secara metafora karena tanganlah yang paling banyak menyakiti manusia. Selain itu, lidah merupakan bagian dari anggota tubuh yang paling banyak menyakiti hati sesama manusia.
Oleh sebab itu, seorang muslim yang sejati harus mampu menjaga dirinya sehingga orang lain selamat dari kezaliman atau perbuatan jelek tangan dan mulutnya. Dengan kata lain, ia harus berusaha agar saudaranya sesama muslim tidak merasa disakiti oleh tangannya, baik fisik seperti dengan memukulnya, merusak harta bendanya, dan lain-lain ataupun dengan lisannya.
Adapun menyakiti orang lain dengan lisan, misalnya dengan memfitnah, mencaci, mengumpat, menghina, dan lain-lain. Perasaan sakit yang disebabkan oleh lidah lebih sulit dihilangkan daripada sakit akibat pukulan fisik. Tidak jarang terjanya perpecahan, perkelahian, bahkan peperangan di berbagai daerah akibat tidak dapat mengontrol lidah. . Salah satu pepatah Arab menyatakan:
سَلاَمَةَ الإِنْسَانِ فيِ حِفْظِ اللِّسَانِ
Artinya: “Keselamatan seseorang terletak sejauhaman ia menjaga lisannya.”
Dengan demikian, seseorang harus berusaha untuk tidak menyakiti saudaranya dengan cara apapun dan kapan pun. Sebaliknya, ia selalu berusaha menolong dan menyayangi saudaranya seiman sesuai dengasn kemampuan yang dimilikinya.  Hal itu karena menjaga orang lain, baik fisik maupun perasaan sangat penting dalam Islam.
Mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh lisan, maka Allah swt. mengancam akan menggugurkan nilai pahala sedekah seseorang yang senantiasa menyakiti hati sesamanya dengan berbagai bentuknya. Sehubungan dengan hal ini. Allah swt. berfirman dalam QS. al-Baqarah (2): 264:
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) . . .”
Setiap muslim hendaknya berhati-hati dalam bertingkah laku. terhadap sesamanya manusia. Allah sangat mencela segala bentuk perbuatan yang tidak proporsional. Segala tindakan dan perbuatan akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Allah berfirman dalam QS. al-Isra (17): 36:
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Sayyid Quthub dalam mengomentari ayat di atas mengatakan bahwa meskipun ayat tersebut redaksinya sangat singkat, namun mengandung metode ilmiah yang lebih unggul dari metode ilmiah yang dikenal manusia saat ini. Keunggulan metode yang terkandung dalam ayat tersebut karena dalam proses penelitian tidak hanya melibatkan indera dengan dan indera penglihatan, tetapi lebih dari itu, melibatkan hati manusia dan kontrol Tuhan dalam segala aktivitas penelitian.
Al-Qur’an menganjurkan agar dalam proses pengambilan kesimpulan terhadap semua berita dan fenomena, agar senantiasa berhati-hati dan teliti. Ketergesa-gesaan dalam mengambil kesimpulan tidak jarang mengakibatkan seseorang menyesal seumur hidup dan bahkan bisa menjadi pintu kebinasaan. Jika segala langkah dalam proses pengambilan kesimpulan didasari dengan kehati-hatian, maka kemungkinan untuk terjerumus dalam kesalahan sangat kecil, kalaupun terjadi kekeliruan maka akibatnya tidak terlalu besar.
Oleh sebab itu, dalam berbicara harus senantiasa penuh pertimbangan, sebab sejumlah hadis Rasulullah saw. mensinyalir bahwa lidah merupakan anggota tubuh yang sangat potensial memasukkan orang ke dalam neraka.






Dalam sebuah riwayat, Nabi saw. bersabda:
دثنا أبو كريب محمد بن العلاء حدثنا عبد الله بن إدريس حدثني أبي عن جدي عَن أَبي هُرَيرَة َ قَالَ: سُئِلَ رَسولُ اللهِ  صلى الله عليه وسلمَ عَنْ   أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ  النَّاسَ الجَّنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ اْلخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ   أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ  النَّاسُ النَّارَ فَقاَل َالفَمُ وَاْلفَرَجُ
((رواه الترموذي
Artinya:
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. dintanya tentang hal yang banyak mengakibatkan orang masuk surga, lalu Nabi menjawab: ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang baik. Selanjutnya beliau ditanya tentang hal yang banyak mengakibatkan masuk neraka, beliau menjawab: lidah dan kemaluan. (HR. Turmudzi)
Pesan Kedua yang terkandung dalam hadis di atas adalah melakukan aktivitas dalam bingkai ketaatan kepada Allah swt. Hadis tersebut menyebutkan hijrah secara simbolik tetapi mengandung pengertian yang sangat luas. Secara tekstual hadis di atas menyebutkan bahwa hijrah yang sesungguhnya adalah meninggalkan apa yang dimurkai Allah swt. Pengertian itu pulalah yang terkandung dalam hijrah Rasulullah saw., yaitu meninggalkan tanah tumpah darahnya karena mencari daerah aman yang dapat menjamin terlaksananya ketaatan kepada Allah swt. Oleh sebab itu, orang yang meninggalkan kampung halaman dan berpindah ke daerah yang tidak ada jaminan bagi terlaksananya ketaatan kepada Allah tidak termasuk dalam pengertian hijrah dalam pengertian syariat, meskipun secara bahasa mengandung pengertian tersebut.
Hijrah juga dapat diartikan sebagai perjalanan panjang untuk meraih masa depan yang lebih cerah. Dapat juga diartikan sebagai perjalanan panjang untuk mendapatkan ridha-Nya. Untuk menempuh suatu perjalanan diperlukan bekal yang cukup. Bekal tersebut dalam Islam adalah akidah yang kuat. Orang yang kuat imannya tidak akan mudah tergelincir pada perbuatan yang menyimpang perintah-Nya. Jika tergelincir kepada perbuatan yang salah, ia segera berhijrah dari perbuatan jelek tersebut kepada perbuatan-perbuatan baik, sesuai perintah-Nya.

4.   Hadits keempat dan kelima (sesama muslim adalah saudara)
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang maknanya), “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat.”

Karena balasan itu sesuai dengan jenis perbuatan. Hadits-hadits tentang masalah ini banyak sekali, misalnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِنَّـمَـا يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ

Sesungguhnya Allâh menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang[3]

Al-Kurbah (kesempitan) ialah beban berat yang mengakibatkan seseorang sangat menderita dan sedih. Meringankan (at-tanfîs) maksudnya berupaya meringankan beban tersebut dari penderita. Sedangkan at-tafrîj (upaya melepaskan) dengan cara menghilangkan beban penderitaan dari penderita sehingga kesedihan dan kesusahannya sirna. Balasan bagi yang meringankan beban orang lain ialah Allâh akan meringankan kesulitannya. Dan balasan menghilangkan kesulitan adalah Allâh akan menghilangkan kesulitannya.[4]

Seorang Muslim hendaknya berupaya untuk membantu Muslim lainnya. Membantu bisa dengan ilmu, harta, bimbingan, nasehat, saran yang baik, dengan tenaga dan lainnya.

Seorang Muslim hendaknya berupaya menghilangkan kesulitan atau penderitaan Muslim lainnya. Bila seorang Muslim membantu Muslim lainnya dengan ikhlas, maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan balasan terbaik yaitu dilepaskan dari kesulitan terbesar dan terberat yaitu kesulitan pada hari Kiamat. Oleh karena itu, seorang Muslim mestinya tidak bosan membantu sesama Muslim. Semoga Allâh Azza wa Jalla akan menghilangkan kesulitan kita pada hari Kiamat.
• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya : “Dari salah satu kesusahan hari Kiamat.” Kenapa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda, “Dari salah satu kesempitan dunia dan akhirat,” seperti yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan dalam balasan memudahkan urusan dan menutup aib ? Ada yang mengatakan bahwa kurab (kesulitan-kesulitan) yang merupakan kesulitan luar biasa itu tidak menimpa semua manusia di dunia, berbeda dengan kesulitan dan aib yang perlu ditutup, hampir tidak ada seorangpun yang luput. Ada lagi yang mengatakan bahwa kesulitan dunia tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kesulitan akhirat. Karenanya, Allâh Azza wa Jalla menyimpan pahala orang yang meringankan beban orang lain ini untuk meringankan kesulitannya pada hari Kiamat.[5] Ini diperkuat dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :


...يَـجْمَعُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْأَوَّلِيْنَ وَالْآخِرِيْنَ فِـيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ ، فَيُسْمِعُهُمُ الدَّاعِي ، وَيَنْفُذُهُمُ الْبَصَرُ ، وَتَدْنُو الشَّمْسُ مِنْهُمْ ، فَيَبْلُغُ النَّاسَ مِنَ الْغَمِّ وَالْكَرْبِ مَالاَ يُطِيْقُوْنَ ، وَمَالاَ يَحْتَمِلُوْنَ. فَيَقُوْلُ بَعْضُ النَّاسِ لِبَعْضٍ : أَلاَتَرَوْنَ مَا أَنْتُمْ فِيْهِ ؟ أَلاَتَرَوْنَ مَاقَدْ بَلَغَكُمْ ؟ أَلاَتَنْظُرُوْنَ مَنْ يَشْفَعُ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ ؟...

“...Allah mengumpulkan manusia dari generasi pertama hingga generasi terakhir pada satu tempat kemudian penyeru memperdengarkan suara kepada mereka, penglihatan[6] dapat meliputi mereka, matahari mendekat ke mereka, dan manusia menanggung kesedihan dan kesempitan yang tidak mampu lagi mereka tahan dan tanggung. Sebagian manusia berkata kepada sebagian lainnya, ‘Tidakkah kalian lihat apa yang terjadi pada kalian? Kenapa kalian tidak melihat orang yang bisa meminta syafa’at untuk kalian kepada Rabb kalian...’” dan seterusnya.[7]

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda,

تُحْشَرُوْنَ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا. قَالَتْ : فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ ؟ قَالَ : اَلْأَمْرُ أَشَدُّ مِنْ أَنْ يُهِمَّهُمْ ذَاكَ

Kalian akan dikumpulkan (pada hari Kiamat) dalam keadaan telanjang kaki, telanjang (tidak berpakaian) dan tidak berkhitan.” ‘Aisyah berkata, “Wahai Rasûlullâh! Orang laki-laki dan perempuan akan saling melihat (aurat) yang lain?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Perkaranya lebih dahsyat daripada apa yang mereka inginkan.”[8]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhumadari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, " (Yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Rabb seluruh alam.” (Al-Muthaffifiin/83:6), Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَقُوْمُ أَحَدُهُمْ فِـي رَشْحِهِ إِلَـى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ

Salah seorang dari mereka berdiri sementara keringatnya sampai separoh kedua telinganya.[9]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَعْرَقُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَذْهَبَ عَرَقُهُمْ فِـي الْأَرْضِ سَبْعِيْنَ ذِرَاعًا ، وَيُلْجِمُهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ آذَانَهُمْ

Pada hari Kiamat, manusia berkeringat hingga keringat mereka mengalir di bumi sampai tujuh puluh hasta dan mengalir hingga sampai di telinga mereka Dalam lafazh Muslim,

إِنَّ الْعَرَقَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيَذْهَبُ فِي الْأَرْضِ سَبْعِيْنَ بَاعًا ، وَإِنَّهُ لَيَبْلُغُ إِلَى أَفْوَاهِ النَّاسِ ، أَوْ إِلَى آذَانِهِمْ

Sesungguhnya keringat manusia pada hari Kiamat kelak akan mengalir di bumi sampai tujuh puluh depa atau hasta dan dengan ketinggian mencapai mulut atau telinga mereka.[10]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ أُدْنِيَتِ الشَّمْسُ مِنَ الْعِبَادِ حَتَّى تَكُوْنَ قِيْدَ مِيْلٍ أَوِ اثْنَيْنِ ، فَتَصْهَرُهُمُ الشَّمْسُ ، فَيَكُوْنُوْنَ فِـي الْعَرَقِ بِقَدْرِ أَعْمَالِهِمْ ؛ فَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَـى عَقِبَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى حِقْوَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ إِلْـجَامًا.

Apabila hari Kiamat telah tiba, matahari didekatkan kepada hamba-hamba hingga sebatas satu atau dua mil. Kemudian (panas) matahari membuat mereka berkeringat lalu mereka terendam dalam keringat sesuai dengan perbuatan mereka. Diantara mereka ada yang terendam hingga kedua tumitnya, ada yang terendam hingga kedua lutut, ada yang terendam hingga pinggangnya, dan di antara mereka ada yang terendam sampai ke mulutnya hingga ia tidak bisa bicara[11].
• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang maknanya, “Barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang kesulitan maka Allâh Azza wa Jalla memberi kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat.”
Ini menunjukkan bahwa pada hari kiamat ada kesulitan. Bahkan Allâh Azza wa Jalla menyebutkan hari kiamat sebagai hari yang sulit bagi orang-orang kafir. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَكَانَ يَوْمًا عَلَى الْكَافِرِينَ عَسِيرًا

... Dan itulah hari yang sulit bagi orang-orang kafir. [al-Furqân/25:26]
Memberi kemudahan kepada yang kesulitan (dalam utang) ganjarannya besar. Ini dapat dilakukan dengan dua cara :
Pertama : Memberikan tempo dan kelonggaran waktu sampai ia berkecukupan dan mampu membayar utang. Ini hukumnya wajib, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih bagimu, jika kamu mengetahui.” [al-Baqarah/2:280]
Kedua : Dengan membebaskan hutangnya jika ia sudah tidak mampu lagi membayar hutangnya.
Kedua perbuatan ini memiliki keutamaan besar.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ ، فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ : تَـجَاوَزُوْا عَنْهُ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا ، فَتَجَاوَزَ اللهُ عَنْهُ

Dahulu ada seorang pedagang yang selalu memberikan pinjaman kepada manusia. Jika ia melihat orang itu kesulitan membayar hutangnya, ia berkata kepada anak-anaknya, ‘Bebaskanlah hutangnya, mudah-mudahan Allâh memaafkan kita (dari dosa-dosa),’ maka Allâh pun memaafkannya.[12]
Dari Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُـنْجِيَهُ اللهُ مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ؛ فَلْيُنَفِّسْ عَنْ مُعْسِرٍ أَوْ يَضَعْ عَنْهُ

Siapa ingin diselamatkan oleh Allâh dari kesulitan-kesulitan hari Kiamat, hendaklah ia meringankan orang yang kesulitan (hutang) atau membebaskan hutangnya.[13]
Dari Abu Yasar Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ ، أَظَلَّهُ اللهُ فِـيْ ظِلِّهِ

Barangsiapa memberi kelonggaran waktu kepada orang yang kesulitan membayar hutang atau menghapus hutangnya, maka Allâh akan menaunginya dalam naungan-Nya [14]
• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Dan barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim maka Allâh Azza wa Jalla menutupnya di dunia dan akhirat.”

Banyak nash-nash yang semakna dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Diriwayatkan dari salah seorang ulama Salaf, ia berkata, “Aku pernah berjumpa dengan kaum yang tidak memiliki aib kemudian mereka menyebutkan aib-aib orang lain, akhirnya manusia menyebut aib-aib kaum ini. Aku juga pernah bertemu kaum yang mempunyai sejumlah aib namun mereka menjaga aib orang lain, akhirnya aib-aib mereka dilupakan.[15]
Perkataan di atas diperkuat oleh hadits Abu Burdah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَـمْ يَدْخُلِ الْإِيْمَـانُ قَلْبَهُ : لَا تَغْتَابُوْا الْـمُسْلِمِيْنَ ، وَلَا تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ ؛ فَإنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِـيْ بَيْتِهِ

Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya, tetapi iman tidak masuk ke hatinya, jangan kalian menggunjing kaum Muslimin dan jangan mencari aib-aib mereka ! Karena barangsiapa mencari aib-aib mereka maka Allâh akan mencari-cari aibnya dan barangsiapa aibnya dicari-cari oleh Allâh maka Allâh akan mempermalukannya (meskipun ia berada) di rumah.[16]
Terkait dengan perbuatan maksiat, manusia terbagi dalam dua kelompok :
Pertama : Orang baik yang kebaikan dan ketaatannya sudah diketahui orang banyak. Dia tidak dikenal sebagai pelaku maksiat. Orang seperti ini, jika melakukan kesalahan atau khilaf, maka kekeliruannya tidak boleh dibongkar dan tidak boleh diperbincangkan karena itu termasuk ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Allâh Subhanahu wa Ta’alaberfirman, yang artinya, "Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allâh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [An-Nûr/24:19]
Maksud ayat ini ialah menyebarkan perbuatan keji orang mukmin yang menyembunyikan kesalahannya atau menyebarkan berita keji yang dituduhkan kepada kaum Muslimin padahal mereka tidak melakukannya sama sekali, seperti kisah dusta yang menimpa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
Sebagai orang-orang shalih mengingatkan para pelaku amar ma'ruf nahi mungkar agar merahasiakan para pelaku maksiat. Begitu juga apabila ada yang datang hendak bertaubat, menyesal dan mengaku telah berbuat maksiat berat namun ia tidak bisa menjelaskannya dengan rinci, maka orang seperti ini, tidak perlu diminta memberi penjelasan secara rinci dan dia diminta menutup aib dirinya, seperti yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ma’iz dan wanita al-Ghamidiah (yang telah mengaku berzina). Dan sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak minta penjelasan secara rinci kepada orang yang mengatakan, “Aku telah berbuat maksiat maka jatuhkan hukuman kepadaku.”
Anjuran menutup aib seorang Muslim yang berbuat kesalahan tidak berarti membiarkan kesalahannya. Bagi yang mengetahuinya tetap memiliki kewajiban untuk mengingkari kesalahan tersebut dan wajib untuk menutup aibnya.
Oleh karena itu, setiap Muslim dan Muslimah wajib menutup dirinya apabila dia salah, segera bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak menceritakannya kepada orang lain.
Kedua : Orang yang sudah dikenal sebagai pelaku maksiat dan dia melakukannya terang-terangan, tidak perduli dengan perbuatan maksiatnya dan komentar miring masyarakat terhadap dirinya. Orang seperti ini, tidak apa dibuka aibnya, seperti yang ditegaskan oleh al-Hasan al-Bashri rahimahullah dan yang lainnya. Bahkan orang seperti ini harus diselidiki keadaannya untuk dijatuhi hudûd (hukuman had). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا ، فَإنِ اعْتَرَفَتْ ؛ فَارْجُمْهَـا

Hai Unais! Pergilah ke istri fulan ini. Jika ia mengaku (berzina), maka rajamlah ia ! [17]
Orang seperti itu tidak boleh dibela jika tertangkap kendati beritanya belum sampai ke penguasa Ia harus dibiarkan hingga mendapatkan hukuman agar berhenti dari kejahatannya dan membuat jera yang lainnya.
Imam Mâlik rahimahullah berkata, “Orang yang tidak dikenal suka menyakiti orang lain lalu menyakiti karena kesalahan maka orang seperti ini tidak apa-apa dibela selagi informasinya belum terdengar penguasa. Sedangkan yang terkenal suka berbuat jahat atau kerusakan, maka aku tidak senang kalau ia dibela siapa pun. Orang ini harus dibiarkan hingga hukuman dijatuhkan kepadanya.” Perkatan ini dikisahkan oleh Ibnul Mundzir dan yang lainnya.
Begitu juga pelaku bid’ah yang terus menerus dalam perbuatan bid’ahnya dan mengajak orang kepada bid’ahnya maka kita boleh menjelaskan kepada umat Islam tentang orang itu. Bahkan wajib bagi penguasa dan Ulama untuk menjelaskan kesalahannya dan bid’ahnya agar umat tidak tersesat dan hal ini sebagai penjagaan terhadap agama Islam.
• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya."
Dalam hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhumadisebutkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

...وَمَنْ كَانَ فِـيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللَّـهُ فِـيْ حَاجَتِهِ

“...Dan barangsiapa menolong kebutuhan saudaranya, maka Allâh senantiasa menolong kebutuhannya.”
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menganjurkan agar umat Islam saling menolong dalam kebaikan dan membantu saudara-saudaranya yang membutuhkan bantuan. Allâh Subhanahu wa Ta’alaberfirman, yang artinya, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allâh, sungguh, Allâh sangat berat siksa-Nya.” [al-Mâidah/5:2]
Tolong menolong telah dilaksanakan dalam kehidupan para salafush shalih. ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu sering mendatangi para janda dan mengambilkan air untuk mereka pada malam hari. Pada suatu malam, ‘Umar bin al-Khaththab dilihat oleh Thalhah Radhiyallahu anhu masuk ke rumah seorang wanita kemudian Thalhah Radhiyallahu anhu masuk ke rumah wanita itu pada siang harinya, ternyata wanita itu wanita tua, buta, dan lumpuh. Thalhah Radhiyallahu anhu bertanya, “Apa yang diperbuat laki-laki tadi malam terhadapmu?” Wanita itu menjawab, “Sudah lama orang itu datang kepadaku dengan membawa sesuatu yang bermanfaat bagiku dan mengeluarkanku dari kesulitan.” Thalhah Radhiyallahu anhu berkata, “Semoga ibumu selamat –kalimat nada heran-, hai Thalhah, kenapa engkau menyelidiki aurat-aurat ‘Umar ?”[18 . Maksudnya, kenapa aku tidak mengikuti jejak Umar Radhiyallahu anhu dalam kebaikan. Wallaahu A’lam.
Mujahid rahimahullah berkata, “Aku pernah menemani Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhumadiperjalanan untuk melayaninya, namun justru ia yang melayaniku.”[19]
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Kami bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di perjalanan. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Di hari yang panas kami berhenti di suatu tempat. Orang yang paling terlindung dari panas adalah pemilik pakaian dan ada di antara kami ada yang berlindung diri dari terik matahari dengan tangannya. Orang-orang yang berpuasa pun jatuh, sedang orang-orang yang tidak berpuasa tetap berdiri. Mereka memasang kemah dan memberi minum kepada para pengendara kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari ini, orang-orang yang tidak berpuasa pergi dengan membawa pahala.”[20]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[2]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 2442 dan 6951), Muslim (no. 2580) dan Ahmad (2/91), Abu Dâwud (no. 4893), at-Tirmidzi (no. 1426), dan Ibnu Hibbân (no. 533) dari Shahabat Ibnu ‘Umar c .
[2]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 1284), Muslim (no. 923), Abu Dâwud (no. 3125), dan lainnya dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhu .
[4]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/286).
[5]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (2/287, dengan ringkas).
[6]. Ada yang menafsirkan penglihatan Allâh meliputi mereka, ada juga yang mengatakan penglihatan meliputi mereka karena di tanah lapang yang datar semua dapat terlihat. Adapun penglihatan Allah sudah pasti meliputi mereka dalam semua keadaan di dunia maupun di akhirat, di tanah lapang maupun tempat lainnya. Wallaahu A’lam. [Lihat Fat-hul Baari, VIII/396].
[7]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 3340, 3361, dan 4712), Muslim (no. 194), Ahmad (2/435-436), dan lainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[8]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 6527), Muslim (no. 2859), dan an-Nasa-i (4/114-115).
[9]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 6531) dan Muslim (no. 2862).
[10]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 6532) dan Muslim (no. 2863).
[11]. Shahih: HR. Muslim (no. 2864), Ahmad (6/3), dan at-Tirmidzi (no. 2421) dari al-Miqdad bin al-Aswad Radhiyallahu anhu . Lafazh ini milik at-Tirmidzi. Lihat, Tuhfatul Ahwâdzi (7/104-106, no. 2536) dan Silsilah al-Ahâdîtsish Shahîhah (no. 1382).
[12]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2078, 3480), Muslim (no. 1562), an-Nasâi (7/318), dan Ibnu Hibbân (no. 5041, 5042) dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu
[13]. Shahih: HR. Muslim (no. 1563).
[14]. Shahih: HR. Muslim (no. 3006).
[15]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (2/291).
[16]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4880) dan Ahmad (4/420-421, 424).
[17]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 2314) dan Muslim (no. 1697) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[18]. Hilyatul Auliyâ' (1/84, no. 113).
[19]. Hilyatul Auliyâ (3/326, no. 4131).
[20]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2890), Muslim (no. 1119), an-Nasâ-i (4/182), dan Ibnu Hibbân (no. 3551-at-Ta’lâqâtul Hisân). Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/293-296) dengan diringkas dan sedikit tambahan.







BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
v  Jika dianalogikan dengan sesuatu, maka iman islam dan ihsan ibarat sebatang pohon, iman yang menjadi akar dari pohon tersebut, kemudian islam adalah batang dari pohon tersebut, dan untuk mencapai kesempurnaan menjadi pohon yang utuh, maka ihsan yang menjadi daun, bunga, dan buah. Yang artinya adalah iman merupakan logika berfikir, islam adalah langkah yang harus ditempuh, kemudian ihsan merupakan hasil dari logika berfikir dan juga langkah yang telah diperbuat.
v  Realisasi iman dalam kehidupan sangatlah banyak, dan islam telah mengatur segala sesuatu dengan teliti, agar tercipta kehidupan yang sejahtera.
B.   SARAN
v  Manusia adalah mahluk yang diciptakan dengan sempurna, karena memiliki akal, agar mampu menggunakan akal itu dengan baik maka manusia haruslah menuntut ilmu, dan mengimplementasikannya dalam kehidupan, agar senantiasa rahmat dan berkah dari Allah selalu terlimpah untuk manusia.
















DAFTAR PUSTAKA
Media Muslim INFO Project | http://www.mediamuslim.info | Indonesia @ 1428 H / 2007 M

Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196

Tidak ada komentar:

Posting Komentar