“HADITS”
“TENTANG IMAN ISLAM IHSAN DAN REALISASI IMAN”
“TENTANG IMAN ISLAM IHSAN DAN REALISASI IMAN”
(Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadits)
Dosen Pengampu : Miftachur Rif’ah Mahmud,M.Ag.
Disusun oleh
:
Husain Imadudin
M. Choirurohman
Rangga Pradikta (215-13-006)
Husain Imadudin
M. Choirurohman
Rangga Pradikta (215-13-006)
PROGDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2013
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai seorang muslim yang diwajibkan untuk bertaqwa kepada Allah SWT, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu iman, islam serta ihsan agar orientasi dalam ibadah kita tidak salah maka dengan mengetahui arti yang sesungguhnya tentang iman, islam dan ihsan serta realisasi iman pada kehidupan sehari-hari diharapkan syariat islam yang kita jalani menjadi diridhai oleh Allah SWT.
Sebagai seorang muslim yang diwajibkan untuk bertaqwa kepada Allah SWT, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu iman, islam serta ihsan agar orientasi dalam ibadah kita tidak salah maka dengan mengetahui arti yang sesungguhnya tentang iman, islam dan ihsan serta realisasi iman pada kehidupan sehari-hari diharapkan syariat islam yang kita jalani menjadi diridhai oleh Allah SWT.
Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat
manusia melalui perantara nabi Muhammad SAW yang merupaka penyempurna
agama-agama yang sebelumnya telah ada, dengan pedoman hidup berupa kitabullah
Al Qur’an yang lafadz dan maknanya diciptkan oleh Allah sendiri, yang diberikan
kepada nabi Muhammad SAW berupa wahyu secara mutawatir dengan perantara
malaikat jibril.
Sebelum mengetahui lebih jauh tentang apa itu islam
maka kita juga harus mengetahui apa itu iman, yang merupakan dasar syariat yang
harus dimiliki oleh setiap muslim, dalam kajian filsafat, iman merupakan suatu
logika berfikir kemudian islam adalah perbuatan dari logika berfikir tersebut
dan ihsan merupaka hasil atau buah dari perbuatan yang telah dilakukan, dengan
kata lain iman islam dan ihsan merupakan aspek terpenting yang harus dimiliki
setiap muslim.
Setelah mengetahui apakah itu iman islam dan ihsan
maka islam telah mempersiapkan serta mengatur tata cara untuk merealisasikannya
dalam segala bentuk perbuatan yang kita lakukan, seperti yang terkandung dalam
hadist dalam makalah ini yaitu tentang, bagaimana cara menghormati tamu, cara
untuk bertetangga agar senantiasa tercipta hubungan yang harmoni, ataupun adab
dalam berbicara.
Rumusan Masalah
1.
Mengetahui
pengertian iman islam dan ihsan
2.
Mengetahui
arti dan maksud hadis tentang realisasi iman dalam:
a.
Memuliakan
tamu
b.
Adab dalam
berbicara
c.
Tidak
mengganggu muslim lainnya
d.
Sesama muslim
adalah saudara
Maksud dan Tujuan
Mengetahui arti dan maksud dari hadits tentang iman islam ihsan dan realisasi
iman
BAB II
PEMBAHASAN
Arti Hadits
Iman Islam dan Ihsan
1.
Jibril
mendatangi nabi dan bertanya, apakah itu iman? Nabi menjawab: iman adalah
meyakini adanya Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab –Nya, pertemuan dengan Allah, Rasul-rasul-Nya, dan
beriman kepada hari kebangkitan. Kemudian Jibril bertanya lagi, apa itu islam?
Nabi menjawab: islam adalah meyakini Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan
yang lain, mendirikan shalat, menunaikan zakat wajib, dan puasa ramadhan,
kemudian Jibril bertanya lagi, apa itu ihsan? Ihsan adalah menyembah Allah,
seperti hal nya kamu melihat Allah, maka jika kamu tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Allah melihatmu. Dan Jibril bertanya lagi, kapan hari kiamat? Nabi menjawab: tidakkah yang ditanya lebih
tau dari yang bertanya, akan ku kabarkan padamu tanda-tanda nya: jika seorang
hamba melahirkan majikannya, dan jika penggembala unta saling
bertinggi-tinggian bangunan, dan yang lima lagi sungguh tidak ada yang lebih
tau kecuali Allah, kemudian nabi membaca
ayat (innallaha ‘indahu ‘ilmussaa’ati) sesungguhnya Allah yang mengetahui
kiamat. Kemudian Jibril pergi dan nabi berakata: ikutilah/carilah dia, dan para
sahabat tidak melihat siapa pun, maka nabi berkata: itu adalah Jibril yang
datang untuk mengajarkan manusia agama mereka.*
2.
Dari ibnu
‘umara r.a berkata, rasulullah saw bersabda: islam dibangun atas lima: bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi Muhammad utusan Allah, dirikanlah shalat, tunaikan lah zakat, dan
berhaji serta berpuasa ramadhan*.H.R Bukhari.
Realisasi Iman
1.
Barang siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sakiti tetangganya, dan
barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia memuliakan
tamunya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir maka hendaknya
bicara yang baik atau diam.*H.R Bukhari-5671.
2.
Orang islam
adalah orang islam lainnya yang selamat
dari lidahnya dan tangannya oleh orang muslim
dan orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan dari apa yang telah
dilarang Allah swt.
3.
Seorang
muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka dari itu, ia tidak
mendzaliminya dan tidak akan dianiaya orang lain, dan barang siapa yang
membantu dalam memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya
dan barang siapa yang melapangkan kesusahan seorang muslim, Allah akan
melapangkan kesusahannya dari kesusaha-kesusahan dihari kiamat dan barang siapa
menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat.*H.R
Bukhari dan Muslim.
4.
Sesungguhnya
orang mu’min bagi mu’min lainnya itu ibarat bangunan yang mana sebagian muslim
itu menguatkan sebagian yang lain.*
5.
Rasulullah
melihat orang-orang mu’min dalam saling menyayangi dan saling mencintai dan
saling berkasih sayang itu seperti satu tubuh. Apabila sebagian tubuh ada yang sakit,
maka seluruh tubuh tidak bisa tidur dan turut merasakan sakitnya.*
Penjelasan Hadits
1.
Hadits Iman Islam Ihsan
Hadits Pertama dan kedua
iman
Pengertian iman
Secara bahasa iman berarti membenarkan (tashdiq), sementara menurut
istilah ialah “membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan
mengamalkan dengan perbuatannya”. Sedang menurut istilah yang sesungguhnya
ialah kepercayaan yang meresap kedalam hati, dengan penuh keyakinan, tidak
bercampur dengan syak/ragu, serta memberi pengaruh terhadap pandangan hidup,
tingkah laku dan perbuatan sehari-hari. Kata iman dalam Al-quran digunakan
untuk arti yang bermacam-macam. Ar- Raghib al-Ashfahani (ahli kamus Al-quran)
mengatakan, iman didalam Al-quran terkadang digunakan untuk arti iman yang
hanya sebatas dibibir saja padahal dalam hati dan perbuatannya tidak beriman,
terkadang digunakan untuk arti iman yang hanya terbatas pada perbuatannya saja,
sedang hati dan ucapannya tidak beriman dan ketiga kata iman terkadang
digunakan untuk arti iman yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan
di amalkan dalam perbuatan sehari-hari.
Secara etimologis kata islam diturunkan dari akar
kata yang sama dengan kata salam yang berarti “Damai”. Kata muslim (sebutan
bagi pemeluk agama islam) juga berhubungan dengan kata islam, kata tersebut
berarti ”Orang yang berserah diri kepada Allah”.
Islam memberikan banyak amalan keagamaan. Para
penganut, umumnya di galakan untuk memegang lima rukun islam, yaitu lima pilar
yang menyatukan muslim sebagai sebuah komunitas. Islam adalah syari’at Allah
terakhir yang diturunkan-Nya kepada penutup para nabi dan Rasul-Nya, Muhammad
bin Abullah Saw, ia merupakan satu-satunya agama yang benar. Allah tidak
menerima agama dari siapapun selainnya. Dia telah menjadikannya sebagai agama yang
mudah, tidak ada kesulitan dan kesusahan didalamnya, Allah tidak mewajibkan dan
tidak pula membebankan kepada para pemeluknya apa-apa yang mereka tidak sanggup
melakukunnya. Islam adalah agama yang dasarnya tauhid, syi’arnya kejujuran,
parosnya keadilan, tiangnya kebeenaran, ruhnya kasih sayang.ia merupakan agama
agung yang mengarahkan manusia kepada seluruh hal yang bermanfaat, serta
melarang dari segala hal yang membahayakan bagi agama dan kehidupan mereka
didunia .
Rukun (pilar-pilar) islam
Islam di bangun diatas
lima rukun. Seseorang tidak akan menjadi muslim yang sebenarnya hingga dia
mengimani dan melaksanakannya yaitu:
Rukun pertama: syahadat (bersaksi)
bahwa, tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwasanya Muhammad
Rasulullah. Syahadat ini merupakan kunci islam dan pondasi bangunannya. Makna
syahadat la ilaha illallah ialah : tidak ada yang berhak disembah
kecuali Allah saja,dilah ilahi yang hak, sedangkan ilahi selainnya adalah batil
dan ilahi itu artinya sesuatu yang disembah. Dan makna syahadat: bahwasanya
Muhammad itu adalah Rasulullah ialah: membenarkan semua apa yang
diberitakannya, dan mentaati semua perintahnya srta menjauhi semua yang
dilarang dan dicegahnya.
Rukun kedua: shalat:Allah telah
mengsyari’atkan lima shalat setiap hari sebagai hubungana antara seorang muslim
dengan Tuhanya. Didalamnya dia bermunajat dan berdo’a kepada-Nya,disamping agar
menjadi pencegah bagi muslim dari perbuatan keji dan mungkar. Dan Alah telah
menyiapkan bagi yang menunaikanya kebaikan dalam agama dan kemantapan iman
serta ganjaran,baik cepat maupun lambat.Maka
dengan demikian seorang hamba akan mendapatkan ketenangan jiwa dan kenyamanan
raga yang akan membuatnya bahagia di dunia dan akhirat.
Rukun ketiga: Zakat yaitu sedekah
yang dibayyar oleh orang yang memiliki harta sampai nishab(kadar tertenrtu) setiap tahun,kepada
yang berhak menerimanya seperti kaum fakir dan lainya,diantara yang berhak
menerima zakat.Zakat itu tidak di wjibkan atas orang fakir yang tidak memiliki
nishab,tapi hanya di wajibkan atas kaum kaya untuk menyempurnakan agama dan
islam mereka,meningkatkan kondisi dan akhlak mereka,menolak segala balak dari
mereka dan harta mereka,mensuccikan mereka dari dosa,disamping sebagai bantuan
bagi orang-orang yang membutuhkan dan fakir diantara mereka,serta untuk
memenuhi kebutuhan keseharian mereka,sementara zakat hanyalah merupakan bagian
kecil sekali dari jumlah harta dan rizki yang diberikan Allah kepada mereka.
Rukun keempat: Puasa yaitu selama
satu bulan saja setiap tahun,pada bulan ramadhan yang mulia,yakni bulan
kesembilan dari bulan-bulan hijriyah.Kaum muslimin secara keseluruhan serempak
meninggalkan kebutuhan-kebutuhan pokok mereka,makan,minum,dan jimak di siang
hari mulai terbit fajar sampai matahari terbenam.Dan semua itu akan di ganti
oleh Allah bagi mereka berkat karunia dan kemurahan-Nya,dengan penyempurnaan
agama dan iman mereka,serta peningkatan kesempurnaan diri,dan banyak lagi
ganjaran dan kebaikan lainya,baik di dunia maupun di akhirat yang telah di
janjikan Allah bagi orang-orang yang berpuasa.
Rukun kelima: Haji yaiu menuju
masjidil haram untuk melakukan ibadah tertentu. Allah mewajibkan atas orang
yang mampu sekali seumur hidup,Pada waktu itu kaum muslimiin dari segala
penjuru berkumpul di tempat yang paling mulia dimuka bumi ini,menyembah tuhan
yang satu,memakai pakaian yang sama,tidak ada perbedaan antara pemimpin dan
yang dipimpin,antara si kaya dan si fakir dan antara yang berkulit putih dan
berkulit hitam.Mereka semua melaksanakan bentuk-bentuk ibadah tertentu,yang
terpenting diantaranya adalah: wukuf di padang arafah,tawaf di ka’bah,kiblatnya
kaum muslimin,dan sa’i antara bukit shafa dan marwah.
Ihsan
Ihsan adalah puncak ibadah
dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah swt. Sebab ihsan
menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan darin-Nya. Sebaliknya, seorang
hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang
sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat dimata Allah swt. Rasulullah Saw.
Pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya
mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang
mulia. Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya
sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari
aqidah dan bagian terbesar dari keislamannya karena, islam di bangun atas tiga
landasan utama, yaitu iman, islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan
oleh Rasulullah Saw.dalam haditsnya yang sahih . Hadits ini menceritakan saat
Rasulullah Saw. Menjawab pertanyaan malikat jibril – yang menyamar sebagai
seorang manusia – mengenai islam, iman, dan ihsan. Setelah jibril pergi,
Rasulullah Saw. Bersabda kepada sahabatnya, “ inilah jibril yang datang
mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.” Beliau menyebutbut ketiga hal
diatas sebagai agama, dan bahkan Allah Swt. Memerintahkan untuk berbuat ihsan
pada banyak tempat dalam Al-qur’an
.” Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berbuat baik. “ (Qs Al-baqarah:195)
“ Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan . .
. .”(Qs. An-nahl : 90 )
Pengertan ihsan
Ihsan berasal dari kata ahsana yuhsinu, yang
artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang
artinya kebaikan. Allah Swt. Berfirman dalam Al-qur’an mengenai hal ini.
” Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu
sendiri . . .”(Al-isra’:7)
“Dan berbuat baiklah (kpd orang lain) seperti halnya Allah berbuat baik
terhadapmu . . “(Qs AL-Qashash: 77).
Ibnu katsir mengomentari ayat diatas dengan mengatakan bahwa kebaikan
yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh mahluk Allah
Swt.
Landasan syar’I ihsan
Pertama Al- qur’anul karim
Dalam Al-qur’an,
terdapat 166 ayat yang berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini
kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat
ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-qur’an. Berikut ini
adalah beberapa ayat yang menjadi landasan akan hal ini.
“ Dan berbuat baiklah kalian karena
sesungguhnyaAllah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al- baqarah:
195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat
adil dan kebaikan.” (Qs.An-nahl:90)
“. . . . .serta ucapkanlah kata-kata yang baik
kepada manusia. . . .”(Qs. Al-baqarah:83)
“Dan berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu
bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun
yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan para hamba sahayamu. . . . “ (Qs.
An-nisa’: 36)
Kedua, As-sunnah
Rasulullah Saw. Pun sangat memberi perhatian
terhadap masalah ihsan ini. Sebab,ini merupakan puncak harapan, perjuangan
seorang hamba. Bahkan, diantara hadits-hadits mengenai ihsan tersebut, ada
beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah Saw.
menerangkan mengenai ihsan –Ketika ia menjawab pertanyaan malaikat jibril
tentang ihsan, dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh jibril, dengan
mengatakan ,” Engkua menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan
apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”(HR.
Muslim).
Aspek pokok dalam ihsan
Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental ketiga
aspek tersebut ibadah, muamalah, dan ahklak.
Ibadah
kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu
dengan menjalankan semua jenis ibadah, seperti solat, puasa, haji dan
sebagainya dengan cara yang benar. Yaitu dengan menyempurnakan syarat, rukun,
sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh
seorang hamba, kecuali jika saat pelaksnaan ibadah-ibadah tersebut ia penuhi
dengan cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh
bahwa Allah selalu memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan
diperhatikan oleh Allah. Minimal seorang hamba harus merasa bahwa Allah selalu
memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan
baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang
diharapkan.inilah maksud dari perkataan Rasulullah Saw. yang berbunyi,
“Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika
engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri
sangatlah luas. Maka selain dari jenis ibadah itu tadi, yang tidak kalah
pentingnya adalah juga seperti ibadah lainnya seperti jihad, menghormati sesame
mukmin, mendidik anak, membahagiakan istri, dan menjalankan yang mubah
semata-mata demi mencari dan mendapatkan Ridho Allah Swt. dan masih banyak
lagi. Rasulullah menghendaki umatnya dalam keadan seperti itu, yaitu senantiasa
sadar jika ingin ingin mewujudkan ihsan dalam setiap ibadahnya.
Tingkat ibadah dan derajatnya
Berdasarkan nash-nash dalam Al-qur’an dan sunnah,
maka ibadah mempunyai tiga tingkatan, yang pada setiap tingkatan derajatnya
seorang hamba tidak akan dapat mengukurnya. Karena itulah kita berlomba-lomba
untuk meraihnya, pada setip derajat ada tingkatan tersendiri dalam surga. Yang
tertinggi adalah derajat muhsinin, Dan ia akan menempati jannatul firdaus,
derajat tertinggi dalam surga. Kelak penghuni surgs tingkat bawah akan
memandangi penghunu surga surga tingkat atas, laksana penduduk bumi memandangi
bintang-bintang di langit yang menandakan betapa jauhnya jarak antara mereka.
Adapun tiga tingkatan ter sebut adalah sebagai
berikut:
1.
Tingkat
At-taqwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajad yang berbeda-beda.
2.
Tingkat
Al-bir, yaitu tingkat menengah dengan derajat yang berbeda-beda.
3.
Tingkat
Al-ihsan, yaitu tingkat paling atas dengan derajat yang berbeda-beda.
Tingkat taqwa
Tingkat taqwa adalah tingkatan dimana seluruh
derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk kategori Al-muttaqin, sesuai dengan
derajad ketaqwan masing-masing.
Taqwa akan menjadi sempurna dengan menjalankan
semua perintah Allah dan menjauhi serta meninggalkan segala apa yang
dilarangNya, hal ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah saja dapat
mengakibatkan sangsi, dan melakukan salah satu laranganNya saja adalah dosa.
Dengan demikian puncak taqwa adalah menjalankan semua perintah Allah serta
menjauhi segala laranganNya.
Namun ada satu hal yang harus dipahami dengan
benar, yaitu bahwa Allah Swt. Maha mengetahui mengetahui keadaan hamba-hambaNya
yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan kelemahannya itu seorang hamba
melakukan dosa. Oleh karena itu Allah membuat satu cara penghapusan dosa, yaitu
dengan cara bertobat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah akan
mengampuni hambaNya yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan hak-hak
taqwa. Sementara itu, ketika seorang hamba naik peringkat puncak taqwa, boleh
jadi ia akan naik peringkatnya pada peringkat bir atau ihsan. Peringkat ini
disebut martabat taqwa, karena amalan-amalan yang ada pada derajat ini
membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang dilakukannya. Adapun derajat
yang paling rendah dari peringkat ini adalah derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam neraka,
yaitu dengan iman yang benar dan diterima oleh Allah Swt.
Tingkat Al-bir
Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk
kategoi Al-abror, hal ini sesuai dengan amalan-amalan kebaikan yang mereka
lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai dan
diridhai oleh Allah Swt. hal ini dilakukan setelah mereka melakukan hal yang
wajib, yakni yang ada pada peringkat At-taqwa.
Peringkat ini disebut derajat Al-bir (kebaikan),
karena derajat ini merupakan perluasan pada hal-hal yang sifatnya sunnah,
sesuai sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan
tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta yang di haramkanNya.
Amalan-amalan ini tidak diwajibkan oleh Allah kepada hambaNya, tetapi perintah
itu bersifat anjuran, sekaligus terdapat janji pahala didalamnya.
Akan tetapi mereka yang melakukan amalan tambahan
ini tidak akan masuk kedalam tingkatan Al-bir, kecuali mereka telah
melaksanakan peringkat yang pertama, yaitu peringkat taqwa. Karena melaksanakan
hal yang pertama menjadi syarat mutlak untuk naik keperingkat yang selanjutnya.
Dengan demikian,barang siapa yang mengklaim dirinya
telah melakukan kebaikan sedang ia tidak mengimani unsure-unsur kaidaah iman
dalam ihsan, serta tidak terhindar dari siksaan neraka , maka ia tidak dapat
masuk kedalam peringkat ini. (Al-bir). Allah Swt. telah berfirman,
“Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebaikan itu adalah taqwa, dan datangilah rumah-rumah
itu dari pintu-pintunya dan bertaqwalah kepada Allah agar kalian beruntung.”
(Qs. Al-baqarah: 189).
“ya tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan
orang yang menyeru kepada iman, yaitu berimanlah kamu kepada tuhanmu, maka
kamipun beriman. Ya tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan
hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama
orang-orang yang banyak berbuat baik.” (Al-imran: 193) .
Tingkat ihsan
Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk
dalam kategori Muhsinun, mereka adalah orang yang telah melewati tingkat
pertama dan kedua (peringkat At-taqwa dan Al-bir).
Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan
sempurna, maka kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi
yaitu : Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga
keiklasan dan jujur dalam beramal.
Kedua, ihsaan adalah
sensntiasa memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang dapat mendekat diri kepada
Allah Swt. selama hal itu adalah sesuatu yang diridhaiNya dan dianjurkan untuk
melaksanakannya.
Untuk dapat naik kemartabat ihsan dalam segala amal
, hanya bisa dicapai melalui amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang
dicintai oleh Allah Swt. serta dilakukan atas dasar mencari ridha Allah Swt.
2.
Hadits Realisasi Iman
1.
Hadits 1 (memuliakan tamu)
Yang dimaksud dengan memuliakan tamu adalah
memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin. Pelayanan yang baik tentu
saja dilakukan berdasarkan kemampuan dan tidak memaksakan di luar dari
kemapuan. Dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa batas kewajiban memuliakan tamu
adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari tiga hari tersebut termasuk
sedekah.
Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah saw.:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ
أَبِي شُرَيْحٍ الْعَدَوِيِّ أَنَّهُ قَالَ سَمِعَتْ أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْ
عَيْنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
جَائِزَتَهُ قَالُوا وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمُهُ
وَلَيْلَتُهُ وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ
فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ. ((متفق
عـليه
Artinya:
Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami,
Laits telah menceritakan kepada kami, dari Sa’id bin Abi Sa’id, dari Abi
Syuraih al-’Adawiy, berkata, Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
“siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, ia harus menghormati
tamunya dalam batas kewajibannya. Sahabat bertanya, “yang manakah yang masuk
batas kewajiban itu ya Rasulullah? Nabi menjawab, batas kewajiban memuliakan
tamu itu tiga hari tiga malam, sedangkan selebihnya adalah shadaqah.” (Mutafaq
Alaih)
Dalam batas kewajiban tersebut, tuan rumah wajib
memberikan pelayanan berupa makanan sesuai dengan kemampuannya tanpa ada unsur
memaksakan diri. Pelayanan tamu termasuk kategori nafkah wajib, dan tidak wajib
kecuali bagi orang yang mempunyai kelebihan nafkah keluarga. Selain itu,
termasuk kategori memuliakan tamu ialah memberikan sambutan yang hangat dan
senantiasa menampakkan kerelaan dan rasa senang atas pelayanan yang
diberikannya. Sikap yang ramah terhadap tamu jauh lebih berkesan di hati mereka
dari pada dijamu dengan makanan dan minuman yang mahal-mahal tetapi disertai
dengan muka masam. Memuliakan tamu di samping merupakan kewajiban, ia juga
mengandung aspek kemuliaan akhlak.
Sebaliknya, seorang yang bertamu juga harus
senantiasa memperlihatkan sikap koperatif dan akhlak yang baik, sehingga orang
yang menerimanya merasa senang melayaninya. Adapun etika bertamu yang harus
diperhatikan antara lain:
1. Masuk ke rumah orang lain atau tempat perjamuan,
harus memberi salam, dan atau memberi hormat menurut adat dan tata cara
masing-masing masyarakat.
2. Masuk ke dalam rumah melalui pintu depan, dan
diperjamuan melalui pintu gerbang yang sengaja disediakan untuk jalan masuk
bagi tamu.
3. Ikut berpartisipasi dalam acara yang diadakan
dalam suatu perjamuan, selama kegiatan itu tidak bertentangan dengan ajaran
Islam.
4. Duduk setelah dipersilahkan, kecuali di rumah
sahabat karib atau keluarga sendiri.
5. Duduk dengan sopan.
Jika tamu yang datang bermaksud meminta bantuan
atas suatu masalah yang dihadapinya, maka kita harus memberinya bantuan sesuai
kemampuan. Bahkan meskipun tamu bersangkutan tidak mengadukan kesulitannya jika
hal itu kita ketahui, maka kita berkewajiban memberikan bantuan dalam batas
kemampuan yang kita miliki.
Jika ketentuan-ketentuan seperti disebutkan di atas
dilaksanakan oleh segenap umat Islam, maka dengan sendirinya terjalin
keharmonisan di kalangan umat Islam. Keharmonisan di antara umat Islam
merupakan modal utama dalam menciptakan masyarakat yang aman dan damai.
2.
Hadits 1 (berbicara baik atau diam)
Berbicara merupakan perbuatan yang paling mudah
dilakukan tetapi mempunyai kesan yang sangat besar, baik ataupun buruk. Ucapan
dapat membuat seseorang bahagia, dan dapat juga menyebabkan orang sengsara,
bahkan binasa. Orang yang selalui menggunkan lidahnya untuk mengucapkan yang
baik, menganjurkan kebaikan dan melarang perbuatan-perbuatan jelek, membaca
al-Qur’an dan buku-buku yang bermanfaat dan sebagainya, akan mendapatkan
kebaikan atas apa yang dilakukannya. Sebaliknya, orang yang menggunakan
lidahnya untuk berkata-kata jelek atau menyakiti orang lain, ia akan mendapat
dosa, dan bahkan tidak mustahil akan membawa bahaya dan kebinasaan bagi
dirinya. Oleh sebab itulah sehingga Rasulullah memerintahkan untuk berkata
baik, dan jika tidak mampu mengucapkan yang baik maka diam merupakan pilihan
terbaik.
Mengingat besarnya bahaya banyak bicara, Rasulullah
saw. mengemukakan nilai sikap diam. Sehubungan dengan hal ini Rasulullah saw.
bersabda:
عَنْ أَ نَسٍ
قَالَ :قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م: اَلصُّمْتُ حِكْمَة ٌوَقَلِيْلٌ
فَاعِلُهُ. ((أخرجه
البيهقى بسند ضعيف وصحيح أنه موقوف من قول لقمان حكيم
Artinya:
Dari Anas, ia berkata, telah bersabda Rasulullah
saw., “diam itu suatu sikpa bijaksana, tetapi sedikit orang yang melakukannya.”
(H.R. oleh al-Baihaqi, dengan sanad dha’if, dan memang betul bahwa hadis
tersebut mauquf sebagai ucapan Luqman Hakim).
Orang yang menahan banyak berbicara kecuali dalam
hal-hal baik, lebih banyak terhindar dari dosa dan kejelekan, daripada orang
yang banyak berbicara tanpa membedakan hal yang pantas dibicarakan dan yang
tidak pantas dibicarakan. Bahkan, dinyatakan oleh Rasulullah saw. yang dikutip
oleh Imam al-Ghazali:
مَنْ وَقَى شَرَّ
قَبْقَبِهِ وَذَبْذَبهِ وَلَقْلَقِهِ فَقَدْ وَقَى الشَرَّ كُلُّهُ. (رواه أبو
منصور الديلمى عن أنس بسند ضعـيف)
Artinya:
“Barangsiapa yang menjaga perut, farji, dan lisannya, maka dia telah
menjaga seluruh kejelekan.”(H.R. Abu Manshur al-Dailamy dari Anas dengan sanad
dha’if).
Ketiga hal yang disebutkan di atas merupakan
perbuatan paling banyak mengkibatkan orang celaka yang salah satu di antaranya
adalah banyak bicara. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa sikap diam itu
selamanya baik, sebab hadis di atas bukanlah memerintahkan untuk diam, tetapi
hanya menyarankan untuk memilih diam jika ucapan yang benar sudah tidak mampu
diwujudkan. Yang paling bijaksana adalah menempatkan kedua kondisi tersebut
sesuai dengan porsinya dan sejauhmana memberikan kemanfaatan. Dalam sebuah
pepatah Arab dikatakan:
لِكُلِّ مَقَامٍ
مَاقَالٌ وَلِكُلِّ مَقَالٍ مَقَامٌ
Artinya:
“Tiap-tiap kondisi ada perkataan yang tepat, dan tiap-tiap ucapan ada tempatnya.”
Demikian pentingnya ucapan yang baik sehingga Allah
swt. mensinyalir bahwa ucapan yang baik jauh lebih berharga daripada perbuatan
yang tidak didasari oleh keikhlasan.
3.
Hadits kedua (Tidak mengganggu muslim yang lain)
Pesan pertama yang tekandung dalam hadis di atas adalah memberi
motivasi agar umat Islam senantiasa berlaku baik terhadap sesamanya muslim dan
tidak menyakitinya, baik secara fisik maupun hati. Mengingat pentingnya
hubungan baik dengan sesama muslim, maka Rasulullah saw. menjadikannya sebagai
ciri tingkat keislaman seseorang. Orang yang tidak memberikan rasa tenang dan
nyaman terhadap sesamanya muslim dikategorikan orang muslim sejati.
Hadis di atas tidaklah bertolak belakang dengan
hadis tentang rukun Islam, yang nota benenya jika telah terpenuhi maka
seseorang sudah dianggap muslim. Hadis di atas lebih berorientasi moral (moral
oriented) bahwa muslim yang sejati tidak hanya memenuhi rukun Islam secara
formal, tetapi keislaman yang benar ialah di samping terpenuhinya rukun Islam, juga
harus senantiasa tercermin dalam segala tingkah lakunya nilai-nilai moral yang
islami.
Keislaman seseorang belumlah dianggap sempurna dan
sejati jika hanya terpaku pada ibadah ritual sebagai kewajibannya terhadap
Allah swt., lalu meremehkan hubungannya dengan sesama manusia. Ajaran Islam
tidak sepenuhnya berdimensi Ilahiyah, tetapi juga berdimensi insaniyah,meskipun
semuanya bermuara kepada ketaatan kepada Allah swt. Oleh sebab itu, berlaku
baik kepada sesama manusia juga merupakan bagian dari ajaran Islam yang tidak
dapat diabaikan.
Menyakiti sesama manusia mempunyai bentuk yang
bermacam-macam. Namun dalam hadis di atas hanya menyebutkan dua anggota tubuh
secara simbolik. Penggunaan tangan untuk gangguan fisik kepada secara
metafora karena tanganlah yang paling banyak menyakiti manusia. Selain itu,
lidah merupakan bagian dari anggota tubuh yang paling banyak menyakiti hati
sesama manusia.
Oleh sebab itu, seorang muslim yang sejati harus
mampu menjaga dirinya sehingga orang lain selamat dari kezaliman atau perbuatan
jelek tangan dan mulutnya. Dengan kata lain, ia harus berusaha agar saudaranya
sesama muslim tidak merasa disakiti oleh tangannya, baik fisik seperti dengan
memukulnya, merusak harta bendanya, dan lain-lain ataupun dengan lisannya.
Adapun menyakiti orang lain dengan lisan, misalnya
dengan memfitnah, mencaci, mengumpat, menghina, dan lain-lain. Perasaan sakit
yang disebabkan oleh lidah lebih sulit dihilangkan daripada sakit akibat
pukulan fisik. Tidak jarang terjanya perpecahan, perkelahian, bahkan peperangan
di berbagai daerah akibat tidak dapat mengontrol lidah. . Salah satu pepatah
Arab menyatakan:
سَلاَمَةَ
الإِنْسَانِ فيِ حِفْظِ اللِّسَانِ
Artinya: “Keselamatan seseorang terletak sejauhaman
ia menjaga lisannya.”
Dengan demikian, seseorang harus berusaha untuk
tidak menyakiti saudaranya dengan cara apapun dan kapan pun. Sebaliknya, ia
selalu berusaha menolong dan menyayangi saudaranya seiman sesuai dengasn
kemampuan yang dimilikinya. Hal itu
karena menjaga orang lain, baik fisik maupun perasaan sangat penting dalam
Islam.
Mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh lisan, maka
Allah swt. mengancam akan menggugurkan nilai pahala sedekah seseorang yang
senantiasa menyakiti hati sesamanya dengan berbagai bentuknya. Sehubungan
dengan hal ini. Allah swt. berfirman dalam QS. al-Baqarah (2): 264:
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima) . . .”
Setiap muslim hendaknya berhati-hati dalam
bertingkah laku. terhadap sesamanya manusia. Allah sangat mencela segala bentuk
perbuatan yang tidak proporsional. Segala tindakan dan perbuatan akan dimintai
pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Allah berfirman dalam QS. al-Isra (17):
36:
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Sayyid Quthub dalam mengomentari ayat di atas
mengatakan bahwa meskipun ayat tersebut redaksinya sangat singkat, namun
mengandung metode ilmiah yang lebih unggul dari metode ilmiah yang
dikenal manusia saat ini. Keunggulan metode yang terkandung dalam ayat tersebut
karena dalam proses penelitian tidak hanya melibatkan indera dengan dan indera
penglihatan, tetapi lebih dari itu, melibatkan hati manusia dan kontrol Tuhan
dalam segala aktivitas penelitian.
Al-Qur’an menganjurkan agar dalam proses
pengambilan kesimpulan terhadap semua berita dan fenomena, agar senantiasa
berhati-hati dan teliti. Ketergesa-gesaan dalam mengambil kesimpulan tidak
jarang mengakibatkan seseorang menyesal seumur hidup dan bahkan bisa menjadi
pintu kebinasaan. Jika segala langkah dalam proses pengambilan kesimpulan
didasari dengan kehati-hatian, maka kemungkinan untuk terjerumus dalam
kesalahan sangat kecil, kalaupun terjadi kekeliruan maka akibatnya tidak
terlalu besar.
Oleh sebab itu, dalam berbicara harus senantiasa
penuh pertimbangan, sebab sejumlah hadis Rasulullah saw. mensinyalir bahwa
lidah merupakan anggota tubuh yang sangat potensial memasukkan orang ke dalam
neraka.
Dalam sebuah riwayat, Nabi saw. bersabda:
دثنا أبو كريب
محمد بن العلاء حدثنا عبد الله بن إدريس حدثني أبي عن جدي عَن أَبي هُرَيرَة َ
قَالَ: سُئِلَ رَسولُ اللهِ صلى الله عليه
وسلمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الجَّنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللهِ
وَحُسْنُ اْلخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ
أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسُ
النَّارَ فَقاَل َالفَمُ وَاْلفَرَجُ
((رواه
الترموذي
Artinya:
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. dintanya
tentang hal yang banyak mengakibatkan orang masuk surga, lalu Nabi menjawab:
ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang baik. Selanjutnya beliau ditanya tentang
hal yang banyak mengakibatkan masuk neraka, beliau menjawab: lidah dan
kemaluan. (HR. Turmudzi)
Pesan Kedua yang terkandung dalam hadis di atas adalah melakukan aktivitas dalam
bingkai ketaatan kepada Allah swt. Hadis tersebut menyebutkan hijrah secara
simbolik tetapi mengandung pengertian yang sangat luas. Secara tekstual hadis
di atas menyebutkan bahwa hijrah yang sesungguhnya adalah meninggalkan apa yang
dimurkai Allah swt. Pengertian itu pulalah yang terkandung dalam hijrah
Rasulullah saw., yaitu meninggalkan tanah tumpah darahnya karena mencari daerah
aman yang dapat menjamin terlaksananya ketaatan kepada Allah swt. Oleh sebab
itu, orang yang meninggalkan kampung halaman dan berpindah ke daerah yang tidak
ada jaminan bagi terlaksananya ketaatan kepada Allah tidak termasuk dalam
pengertian hijrah dalam pengertian syariat, meskipun secara bahasa mengandung
pengertian tersebut.
Hijrah juga dapat diartikan sebagai perjalanan
panjang untuk meraih masa depan yang lebih cerah. Dapat juga diartikan sebagai
perjalanan panjang untuk mendapatkan ridha-Nya. Untuk menempuh suatu perjalanan
diperlukan bekal yang cukup. Bekal tersebut dalam Islam adalah akidah yang
kuat. Orang yang kuat imannya tidak akan mudah tergelincir pada perbuatan yang
menyimpang perintah-Nya. Jika tergelincir kepada perbuatan yang salah, ia
segera berhijrah dari perbuatan jelek tersebut kepada perbuatan-perbuatan baik,
sesuai perintah-Nya.
4.
Hadits keempat dan kelima (sesama muslim adalah saudara)
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
(yang maknanya), “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari
seorang mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat.”
Karena balasan itu sesuai dengan jenis perbuatan.
Hadits-hadits tentang masalah ini banyak sekali, misalnya sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِنَّـمَـا
يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ
Sesungguhnya Allâh menyayangi hamba-hamba-Nya yang
penyayang[3]
Al-Kurbah (kesempitan) ialah beban berat yang mengakibatkan
seseorang sangat menderita dan sedih. Meringankan (at-tanfîs) maksudnya
berupaya meringankan beban tersebut dari penderita. Sedangkan at-tafrîj (upaya
melepaskan) dengan cara menghilangkan beban penderitaan dari penderita sehingga
kesedihan dan kesusahannya sirna. Balasan bagi yang meringankan beban orang
lain ialah Allâh akan meringankan kesulitannya. Dan balasan menghilangkan
kesulitan adalah Allâh akan menghilangkan kesulitannya.[4]
Seorang Muslim hendaknya berupaya untuk membantu
Muslim lainnya. Membantu bisa dengan ilmu, harta, bimbingan, nasehat, saran
yang baik, dengan tenaga dan lainnya.
Seorang Muslim hendaknya berupaya menghilangkan
kesulitan atau penderitaan Muslim lainnya. Bila seorang Muslim membantu Muslim
lainnya dengan ikhlas, maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan balasan terbaik
yaitu dilepaskan dari kesulitan terbesar dan terberat yaitu kesulitan pada hari
Kiamat. Oleh karena itu, seorang Muslim mestinya tidak bosan membantu sesama
Muslim. Semoga Allâh Azza wa Jalla akan menghilangkan kesulitan kita pada hari
Kiamat.
• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
yang artinya : “Dari salah satu kesusahan hari Kiamat.” Kenapa Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda, “Dari salah satu kesempitan dunia
dan akhirat,” seperti yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan dalam
balasan memudahkan urusan dan menutup aib ? Ada yang mengatakan bahwa kurab
(kesulitan-kesulitan) yang merupakan kesulitan luar biasa itu tidak menimpa
semua manusia di dunia, berbeda dengan kesulitan dan aib yang perlu ditutup,
hampir tidak ada seorangpun yang luput. Ada lagi yang mengatakan bahwa
kesulitan dunia tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kesulitan
akhirat. Karenanya, Allâh Azza wa Jalla menyimpan pahala orang yang meringankan
beban orang lain ini untuk meringankan kesulitannya pada hari Kiamat.[5] Ini
diperkuat dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
...يَـجْمَعُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْأَوَّلِيْنَ وَالْآخِرِيْنَ
فِـيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ ، فَيُسْمِعُهُمُ الدَّاعِي ، وَيَنْفُذُهُمُ الْبَصَرُ ،
وَتَدْنُو الشَّمْسُ مِنْهُمْ ، فَيَبْلُغُ النَّاسَ مِنَ الْغَمِّ وَالْكَرْبِ
مَالاَ يُطِيْقُوْنَ ، وَمَالاَ يَحْتَمِلُوْنَ. فَيَقُوْلُ بَعْضُ النَّاسِ
لِبَعْضٍ : أَلاَتَرَوْنَ مَا أَنْتُمْ فِيْهِ ؟ أَلاَتَرَوْنَ مَاقَدْ بَلَغَكُمْ
؟ أَلاَتَنْظُرُوْنَ مَنْ يَشْفَعُ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ ؟...
“...Allah mengumpulkan manusia dari generasi
pertama hingga generasi terakhir pada satu tempat kemudian penyeru
memperdengarkan suara kepada mereka, penglihatan[6] dapat meliputi mereka,
matahari mendekat ke mereka, dan manusia menanggung kesedihan dan kesempitan
yang tidak mampu lagi mereka tahan dan tanggung. Sebagian manusia berkata
kepada sebagian lainnya, ‘Tidakkah kalian lihat apa yang terjadi pada kalian?
Kenapa kalian tidak melihat orang yang bisa meminta syafa’at untuk kalian
kepada Rabb kalian...’” dan seterusnya.[7]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda,
تُحْشَرُوْنَ
حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا. قَالَتْ : فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، الرِّجَالُ
وَالنِّسَاءُ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ ؟ قَالَ : اَلْأَمْرُ أَشَدُّ مِنْ
أَنْ يُهِمَّهُمْ ذَاكَ
Kalian akan dikumpulkan (pada hari Kiamat) dalam
keadaan telanjang kaki, telanjang (tidak berpakaian) dan tidak berkhitan.”
‘Aisyah berkata, “Wahai Rasûlullâh! Orang laki-laki dan perempuan akan saling
melihat (aurat) yang lain?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Perkaranya lebih dahsyat daripada apa yang mereka inginkan.”[8]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhumadari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang firman Allâh Azza wa Jalla , yang
artinya, " (Yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Rabb
seluruh alam.” (Al-Muthaffifiin/83:6), Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
يَقُوْمُ أَحَدُهُمْ
فِـي رَشْحِهِ إِلَـى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ
Salah seorang dari mereka berdiri sementara
keringatnya sampai separoh kedua telinganya.[9]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَعْرَقُ
النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَذْهَبَ عَرَقُهُمْ فِـي الْأَرْضِ
سَبْعِيْنَ ذِرَاعًا ، وَيُلْجِمُهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ آذَانَهُمْ
Pada hari Kiamat, manusia berkeringat hingga
keringat mereka mengalir di bumi sampai tujuh puluh hasta dan mengalir hingga
sampai di telinga mereka Dalam lafazh Muslim,
إِنَّ الْعَرَقَ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيَذْهَبُ فِي الْأَرْضِ سَبْعِيْنَ بَاعًا ، وَإِنَّهُ
لَيَبْلُغُ إِلَى أَفْوَاهِ النَّاسِ ، أَوْ إِلَى آذَانِهِمْ
Sesungguhnya keringat manusia pada hari Kiamat
kelak akan mengalir di bumi sampai tujuh puluh depa atau hasta dan dengan
ketinggian mencapai mulut atau telinga mereka.[10]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا كَانَ
يَوْمُ الْقِيَامَةِ أُدْنِيَتِ الشَّمْسُ مِنَ الْعِبَادِ حَتَّى تَكُوْنَ قِيْدَ
مِيْلٍ أَوِ اثْنَيْنِ ، فَتَصْهَرُهُمُ الشَّمْسُ ، فَيَكُوْنُوْنَ فِـي
الْعَرَقِ بِقَدْرِ أَعْمَالِهِمْ ؛ فَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَـى عَقِبَيْهِ
، وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ
إِلَى حِقْوَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ إِلْـجَامًا.
Apabila hari Kiamat telah tiba, matahari didekatkan
kepada hamba-hamba hingga sebatas satu atau dua mil. Kemudian (panas) matahari
membuat mereka berkeringat lalu mereka terendam dalam keringat sesuai dengan
perbuatan mereka. Diantara mereka ada yang terendam hingga kedua tumitnya, ada
yang terendam hingga kedua lutut, ada yang terendam hingga pinggangnya, dan di
antara mereka ada yang terendam sampai ke mulutnya hingga ia tidak bisa
bicara[11].
• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
yang maknanya, “Barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang kesulitan maka
Allâh Azza wa Jalla memberi kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat.”
Ini menunjukkan bahwa pada hari kiamat ada
kesulitan. Bahkan Allâh Azza wa Jalla menyebutkan hari kiamat sebagai hari yang
sulit bagi orang-orang kafir. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَكَانَ يَوْمًا
عَلَى الْكَافِرِينَ عَسِيرًا
... Dan itulah hari yang sulit bagi orang-orang
kafir. [al-Furqân/25:26]
Memberi kemudahan kepada yang kesulitan (dalam
utang) ganjarannya besar. Ini dapat dilakukan dengan dua cara :
Pertama : Memberikan
tempo dan kelonggaran waktu sampai ia berkecukupan dan mampu membayar utang.
Ini hukumnya wajib, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya,
"Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang
waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih
bagimu, jika kamu mengetahui.” [al-Baqarah/2:280]
Kedua : Dengan
membebaskan hutangnya jika ia sudah tidak mampu lagi membayar hutangnya.
Kedua perbuatan ini memiliki keutamaan besar.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ تَاجِرٌ
يُدَايِنُ النَّاسَ ، فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ :
تَـجَاوَزُوْا عَنْهُ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا ، فَتَجَاوَزَ اللهُ
عَنْهُ
Dahulu ada seorang pedagang yang selalu memberikan
pinjaman kepada manusia. Jika ia melihat orang itu kesulitan membayar
hutangnya, ia berkata kepada anak-anaknya, ‘Bebaskanlah hutangnya, mudah-mudahan
Allâh memaafkan kita (dari dosa-dosa),’ maka Allâh pun memaafkannya.[12]
Dari Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu , Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَرَّهُ
أَنْ يُـنْجِيَهُ اللهُ مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ؛ فَلْيُنَفِّسْ عَنْ مُعْسِرٍ
أَوْ يَضَعْ عَنْهُ
Siapa ingin diselamatkan oleh Allâh dari
kesulitan-kesulitan hari Kiamat, hendaklah ia meringankan orang yang kesulitan
(hutang) atau membebaskan hutangnya.[13]
Dari Abu Yasar Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَنْظَرَ
مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ ، أَظَلَّهُ اللهُ فِـيْ ظِلِّهِ
Barangsiapa memberi kelonggaran waktu kepada orang
yang kesulitan membayar hutang atau menghapus hutangnya, maka Allâh akan
menaunginya dalam naungan-Nya [14]
• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
yang artinya, “Dan barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim maka Allâh Azza wa
Jalla menutupnya di dunia dan akhirat.”
Banyak nash-nash yang semakna dengan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Diriwayatkan dari salah seorang ulama Salaf,
ia berkata, “Aku pernah berjumpa dengan kaum yang tidak memiliki aib kemudian
mereka menyebutkan aib-aib orang lain, akhirnya manusia menyebut aib-aib kaum
ini. Aku juga pernah bertemu kaum yang mempunyai sejumlah aib namun mereka
menjaga aib orang lain, akhirnya aib-aib mereka dilupakan.[15]
Perkataan di atas diperkuat oleh hadits Abu Burdah
Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ
مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَـمْ يَدْخُلِ الْإِيْمَـانُ قَلْبَهُ : لَا
تَغْتَابُوْا الْـمُسْلِمِيْنَ ، وَلَا تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ ؛ فَإنَّهُ
مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ
عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِـيْ بَيْتِهِ
Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya,
tetapi iman tidak masuk ke hatinya, jangan kalian menggunjing kaum Muslimin dan
jangan mencari aib-aib mereka ! Karena barangsiapa mencari aib-aib mereka maka
Allâh akan mencari-cari aibnya dan barangsiapa aibnya dicari-cari oleh Allâh
maka Allâh akan mempermalukannya (meskipun ia berada) di rumah.[16]
Terkait dengan perbuatan maksiat, manusia terbagi
dalam dua kelompok :
Pertama : Orang baik
yang kebaikan dan ketaatannya sudah diketahui orang banyak. Dia tidak dikenal
sebagai pelaku maksiat. Orang seperti ini, jika melakukan kesalahan atau
khilaf, maka kekeliruannya tidak boleh dibongkar dan tidak boleh
diperbincangkan karena itu termasuk ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Allâh
Subhanahu wa Ta’alaberfirman, yang artinya, "Sesungguhnya orang-orang yang
ingin agar perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang
beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allâh
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [An-Nûr/24:19]
Maksud ayat ini ialah menyebarkan perbuatan keji
orang mukmin yang menyembunyikan kesalahannya atau menyebarkan berita keji yang
dituduhkan kepada kaum Muslimin padahal mereka tidak melakukannya sama sekali,
seperti kisah dusta yang menimpa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
Sebagai orang-orang shalih mengingatkan para pelaku
amar ma'ruf nahi mungkar agar merahasiakan para pelaku maksiat. Begitu juga
apabila ada yang datang hendak bertaubat, menyesal dan mengaku telah berbuat
maksiat berat namun ia tidak bisa menjelaskannya dengan rinci, maka orang seperti
ini, tidak perlu diminta memberi penjelasan secara rinci dan dia diminta
menutup aib dirinya, seperti yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada Ma’iz dan wanita al-Ghamidiah (yang telah mengaku berzina). Dan
sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak minta penjelasan secara
rinci kepada orang yang mengatakan, “Aku telah berbuat maksiat maka jatuhkan
hukuman kepadaku.”
Anjuran menutup aib seorang Muslim yang berbuat
kesalahan tidak berarti membiarkan kesalahannya. Bagi yang mengetahuinya tetap
memiliki kewajiban untuk mengingkari kesalahan tersebut dan wajib untuk menutup
aibnya.
Oleh karena itu, setiap Muslim dan Muslimah wajib
menutup dirinya apabila dia salah, segera bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla
dan tidak menceritakannya kepada orang lain.
Kedua : Orang yang
sudah dikenal sebagai pelaku maksiat dan dia melakukannya terang-terangan,
tidak perduli dengan perbuatan maksiatnya dan komentar miring masyarakat
terhadap dirinya. Orang seperti ini, tidak apa dibuka aibnya, seperti yang
ditegaskan oleh al-Hasan al-Bashri rahimahullah dan yang lainnya. Bahkan orang
seperti ini harus diselidiki keadaannya untuk dijatuhi hudûd (hukuman had).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَاغْدُ يَا
أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا ، فَإنِ اعْتَرَفَتْ ؛ فَارْجُمْهَـا
Hai Unais! Pergilah ke istri fulan ini. Jika ia
mengaku (berzina), maka rajamlah ia ! [17]
Orang seperti itu tidak boleh dibela jika
tertangkap kendati beritanya belum sampai ke penguasa Ia harus dibiarkan hingga
mendapatkan hukuman agar berhenti dari kejahatannya dan membuat jera yang
lainnya.
Imam Mâlik rahimahullah berkata, “Orang yang tidak
dikenal suka menyakiti orang lain lalu menyakiti karena kesalahan maka orang
seperti ini tidak apa-apa dibela selagi informasinya belum terdengar penguasa.
Sedangkan yang terkenal suka berbuat jahat atau kerusakan, maka aku tidak
senang kalau ia dibela siapa pun. Orang ini harus dibiarkan hingga hukuman
dijatuhkan kepadanya.” Perkatan ini dikisahkan oleh Ibnul Mundzir dan yang
lainnya.
Begitu juga pelaku bid’ah yang terus menerus dalam
perbuatan bid’ahnya dan mengajak orang kepada bid’ahnya maka kita boleh
menjelaskan kepada umat Islam tentang orang itu. Bahkan wajib bagi penguasa dan
Ulama untuk menjelaskan kesalahannya dan bid’ahnya agar umat tidak tersesat dan
hal ini sebagai penjagaan terhadap agama Islam.
• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Allah menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya."
Dalam hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhumadisebutkan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
...وَمَنْ كَانَ فِـيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللَّـهُ فِـيْ حَاجَتِهِ
“...Dan barangsiapa menolong kebutuhan saudaranya,
maka Allâh senantiasa menolong kebutuhannya.”
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini
menganjurkan agar umat Islam saling menolong dalam kebaikan dan membantu
saudara-saudaranya yang membutuhkan bantuan. Allâh Subhanahu wa
Ta’alaberfirman, yang artinya, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa
dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allâh, sungguh, Allâh sangat berat
siksa-Nya.” [al-Mâidah/5:2]
Tolong menolong telah dilaksanakan dalam kehidupan
para salafush shalih. ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu sering mendatangi
para janda dan mengambilkan air untuk mereka pada malam hari. Pada suatu malam,
‘Umar bin al-Khaththab dilihat oleh Thalhah Radhiyallahu anhu masuk ke rumah
seorang wanita kemudian Thalhah Radhiyallahu anhu masuk ke rumah wanita itu
pada siang harinya, ternyata wanita itu wanita tua, buta, dan lumpuh. Thalhah
Radhiyallahu anhu bertanya, “Apa yang diperbuat laki-laki tadi malam
terhadapmu?” Wanita itu menjawab, “Sudah lama orang itu datang kepadaku dengan
membawa sesuatu yang bermanfaat bagiku dan mengeluarkanku dari kesulitan.”
Thalhah Radhiyallahu anhu berkata, “Semoga ibumu selamat –kalimat nada heran-,
hai Thalhah, kenapa engkau menyelidiki aurat-aurat ‘Umar ?”[18 . Maksudnya,
kenapa aku tidak mengikuti jejak Umar Radhiyallahu anhu dalam kebaikan.
Wallaahu A’lam.
Mujahid rahimahullah berkata, “Aku pernah menemani
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhumadiperjalanan untuk melayaninya, namun justru ia
yang melayaniku.”[19]
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu , ia
berkata, “Kami bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di perjalanan.
Di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Di hari yang
panas kami berhenti di suatu tempat. Orang yang paling terlindung dari panas
adalah pemilik pakaian dan ada di antara kami ada yang berlindung diri dari
terik matahari dengan tangannya. Orang-orang yang berpuasa pun jatuh, sedang
orang-orang yang tidak berpuasa tetap berdiri. Mereka memasang kemah dan
memberi minum kepada para pengendara kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Pada hari ini, orang-orang yang tidak berpuasa pergi dengan
membawa pahala.”[20]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
06/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
_______
Footnote
[2]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 2442 dan
6951), Muslim (no. 2580) dan Ahmad (2/91), Abu Dâwud (no. 4893), at-Tirmidzi
(no. 1426), dan Ibnu Hibbân (no. 533) dari Shahabat Ibnu ‘Umar c .
[2]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 1284),
Muslim (no. 923), Abu Dâwud (no. 3125), dan lainnya dari Usamah bin Zaid
Radhiyallahu anhu .
[4]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam
(II/286).
[5]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam
(2/287, dengan ringkas).
[6]. Ada yang menafsirkan penglihatan
Allâh meliputi mereka, ada juga yang mengatakan penglihatan meliputi mereka
karena di tanah lapang yang datar semua dapat terlihat. Adapun penglihatan
Allah sudah pasti meliputi mereka dalam semua keadaan di dunia maupun di
akhirat, di tanah lapang maupun tempat lainnya. Wallaahu A’lam. [Lihat Fat-hul
Baari, VIII/396].
[7]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 3340, 3361,
dan 4712), Muslim (no. 194), Ahmad (2/435-436), dan lainnya dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu.
[8]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 6527),
Muslim (no. 2859), dan an-Nasa-i (4/114-115).
[9]. Shahih: HR. Bukhâri (no. 6531) dan
Muslim (no. 2862).
[10]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 6532)
dan Muslim (no. 2863).
[11]. Shahih: HR. Muslim (no. 2864),
Ahmad (6/3), dan at-Tirmidzi (no. 2421) dari al-Miqdad bin al-Aswad Radhiyallahu
anhu . Lafazh ini milik at-Tirmidzi. Lihat, Tuhfatul Ahwâdzi (7/104-106, no.
2536) dan Silsilah al-Ahâdîtsish Shahîhah (no. 1382).
[12]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2078,
3480), Muslim (no. 1562), an-Nasâi (7/318), dan Ibnu Hibbân (no. 5041, 5042)
dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu
[13]. Shahih: HR. Muslim (no. 1563).
[14]. Shahih: HR. Muslim (no. 3006).
[15]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (2/291).
[16]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4880)
dan Ahmad (4/420-421, 424).
[17]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 2314)
dan Muslim (no. 1697) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[18]. Hilyatul Auliyâ' (1/84, no. 113).
[19]. Hilyatul Auliyâ (3/326, no. 4131).
[20]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2890),
Muslim (no. 1119), an-Nasâ-i (4/182), dan Ibnu Hibbân (no. 3551-at-Ta’lâqâtul
Hisân). Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/293-296) dengan diringkas dan sedikit
tambahan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
v Jika dianalogikan dengan sesuatu, maka iman islam
dan ihsan ibarat sebatang pohon, iman yang menjadi akar dari pohon tersebut, kemudian
islam adalah batang dari pohon tersebut, dan untuk mencapai kesempurnaan
menjadi pohon yang utuh, maka ihsan yang menjadi daun, bunga, dan buah. Yang
artinya adalah iman merupakan logika berfikir, islam adalah langkah yang harus
ditempuh, kemudian ihsan merupakan hasil dari logika berfikir dan juga langkah
yang telah diperbuat.
v Realisasi iman dalam kehidupan sangatlah banyak,
dan islam telah mengatur segala sesuatu dengan teliti, agar tercipta kehidupan
yang sejahtera.
B.
SARAN
v Manusia adalah mahluk yang diciptakan dengan
sempurna, karena memiliki akal, agar mampu menggunakan akal itu dengan baik
maka manusia haruslah menuntut ilmu, dan mengimplementasikannya dalam
kehidupan, agar senantiasa rahmat dan berkah dari Allah selalu terlimpah untuk
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Media Muslim INFO Project |
http://www.mediamuslim.info | Indonesia @ 1428 H / 2007 M
Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196
Tidak ada komentar:
Posting Komentar