MAKALAH
|
“TAFSIR Q.S AL –BAQARAH AYAT 255-256”
“TENTANG AQIDAH ISLAMIYAH”
Dosen Pengampu : Dr.Adang Kuswaya,
M.Ag.
Disusun Oleh : Rangga Pradikta – (215-13-006)
PROGDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM EKONOMI
SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2013
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr,wb,.
Alhamdulillah, Segala puji bagi
ALLAH SWT , yang dengan berkat pertolongan-Nya, kami penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Tafsir Qur’an surat Al-baqarah Ayat
255-256”. Didalamnya terdapat pembahasan tentang aqidah.
Makalah ini disusun untuk
melengkapi tugas progdi ilmu Al Qur’an dan tafsir dalam materi tafsir di STAIN
Salatiga, disamping itu juga sebagai pembelajaran bagi kami penulis untuk
mengetahui semua aspek aspek yang berkaitan dengan tafsir Al Quran surah
Al-baqarah ayat 255-256.
Penulis menyadari sepenuhnya,
bahwa makalah ini masih sangant jauh dari sempurna, baik isi, susunan kalimat
maupun sistematika pembahasannya. Untuk itu kritik, saran dan nasihat dosen
pengampu serta para pembaca senantiasa kami harapkan demi kesepurnaan makalah
kami ini,. tiada yang sempurna kecuali ALLAH SWT.
Namun upaya mencari kata sempurna
setidaknya telah kami usahakan.Akhirnya segala kesalahan dan kekurangan adalah
tanggung jawab kami sebagai penyusun.namun,apabila terdapat kebenaran dalam
Makalah ini semata karena hanya ridho,tuntunan,dan petunjuk dari ALLAH SWT sang maha pencipta.
Wassalamualaikum wr,wb
Salatiga, 24 September
2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sehari-hari kita telah sering mendengar kata
aqidah atau pun tauhid, namun apakah kita semua sudah mengetahui arti dari kata
aqidah itu sendiri, sehingga banyak orang-orang yang belum memahami arti
sesungguhnya yang disampaikan oleh Allah melalui firman-Nya dan pada akhirnya
terjerumus kepada penerapan aqidah yang salah.
Aqidah bisa diartikan juga sebagai keyakinan, yakni keyakinan
yang mendalam tentang hakikat Allah sebagai Tuhan semesta alam serta agama
islam merupakan agama yang rahmatan lil’alamin, yaitu
agama yang diturunkan untuk mengatur kehidupan seluruh mahluk hidup.
Dan dari akidah yang kuat maka kita akan terhidar dari segala
prasangka dan perbuatan yang dikategorikan sebagai Syirik(menyekutukan Allah).
Kemudian dewasa ini islam dimata orang-orang non-islam dianggap sebagai agama
yang kejam, ini semua dikarenakan adanya sekelompok orang yang disebut sebagai
teroris, dalam melakukan aksi terorismenya mereka menggunakan dalil-dalil Al
Qur’an dengan pemahaman yang sangat terbatas dan tanpa melalui ijtihad secara
khusus tentang dalil yang mereka gunakan sebagai dasar acuan aksi
mereka,sehingga menimbulkan konflik besar dimata dunia tentang apakah yang diajarkan
oleh islam sebenarnya. Dan inipun erat kaitannya dengan aqidah, maka dari itu dalam
surat al baqarah ayat 255-256, ALLAH SWT telah berfirman kepada Nabi Muhammad
saw, tentang apa itu aqidah dan macam aqidah, serta menerangkan tentang
sempurna nya agama islam untuk umat manusia dibanding dengan agama-agama yang
Allah turunkan sebelumnya.
Surat Al baqarah ayat 255 disebut juga sebagai Ayat Kursi,
penamaan ini bukan hasil ijtihad ulama, tetapi dari Rasulullah saw. sebagaimana
dalam satu riwayat bahwa ketika Rasulullah saw. ditanya oleh salah seorang
sahabatnya tentang “ayat apa yang paling agung dari kitabullah?” Beliau
menjawab, “Ayat Kursi”, kemudian Rasulullah membaca ayat ini. (HR Ahmad dan
Nasa’i).
Kemudian dalam surat Al baqarah ayat 256, Allah menjelaskan
tentang kebenaran islam disisi-Nya dan sebagai agama yang Allah ridhai di dunia
maupun akhirat dan dijelaskan pula apa arti thagut sesungguhnya.
Dua ayat ini sangat menarik untuk dibahas, karena saling mendukung dalam arti
dan penafsirannya, serta banyaknya faedah dari mempelajari kedua ayat ini
khususnya untuk keyakinan kepada ALLAH SWT dan membuktikan kepada seluruh umat
manusia, bahwa islam merupakan agama yang penuh dengan kasih sayang dan
keteraturan serta kebenaran.
B. RUMUSAN MASALAH
v Bagaimanakah
penafsiran surat Al baqarah ayat 255-256
v Dengan
menguraikan :
A. Muqaddimah dan
bunyi serta terjemahan dari Q.S Al baqarah ayat 255-256
B. Penafsiran terhadap
Q.S Al baqarah ayat 255-256 tentang aqidah
C. Korelasi antara
kedua ayat dalam kehidupan
C. MAKSUD DAN TUJUAN
Mengetahui isi penafsiran Q.S Al baqarah ayat 255-256 tentang
aqidah islamiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.Muqaddimah
dan bunyi serta terjemahan dari Q.S Al baqarah ayat 255-256
Muqaddimah
Surat Al Baqarah yang berisi 286 ayat turun di Madinah yang sebahagian besar
diturunkan pada permulaan tahun Hijrah, kecuali ayat 281 diturunkan di Mina
pada Hajji wadaa' (hajji Nabi Muhammad s.a.w. yang terakhir). Seluruh ayat dari
surat Al Baqarah termasuk golongan Madaniyyah, merupakan surat yang terpanjang
di antara surat-surat Al Quran. Surat ini dinamai Al Baqarah
karena di dalamnya disebutkan kisah penyembelihan sapi betina yang
diperintahkan Allah kepada Bani Israil (ayat 67 sampai dengan 74), dimana
dijelaskan watak orang Yahudi pada umumnya. Dinamai Fusthaatul-Quran
(puncak Al Quran) karena memuat beberapa hukum yang tidak disebutkan dalam
surat yang lain. Dinamai juga surat alif-laam-miim karena surat
ini dimulai dengan Alif-laam-miim.
Pokok-pokok isinya:
1. Keimanan:
Dakwah Islamiyah yang dihadapkan kepada umat Islam, ahli
kitab dan para musyrikin ; tauhid.
2. Hukum-hukum:
Perintah mengerjakan shalat; menunaikan zakat; hukum puasa;
hukum haji dan umrah; hukum qishash; hal-hal yang halal dan yang haram;
bernafkah di jalan Allah; hukum arak dan judi; cara menyantuni anak yatim,
larangan riba; hutang piutang; nafkah dan yang berhak menerimanya; wasiyat
kepada dua orang ibu-bapa dan kaum kerabat; hukum sumpah; kewajiban
menyampaikan amanat; sihir; hukum merusak mesjid; hukum meubah kitab-kitab
Allah; hukum haidh, 'iddah, thalak, khulu', ilaa' dan hukum susuan; hukum
melamar, mahar, larangan mengawini wanita musyrik dan sebaliknya; hukum perang.
3. Kisah-kisah:
Kisah penciptaan Nabi Adam a.s.; kisah Nabi Ibrahim a.s.;
kisah Nabi Musa a.s. dengan Bani Israil.
4. Dan lain-lain:
Sifat-sifat orang yang bertakwa; sifat orang-orang munafik;
sifat-sifat Allah; perumpamaan-perumpamaan; kiblat, kebangkitan sesudah mati.
Bunyi serta terjemahan surat Al
baqrah ayat 255-256
اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ
الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَنَوْمُ لَّهُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي
اْلأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَابَيْنَ
أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا
شَآءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ
الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia
Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). tidak mengantuk dan
tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat
memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di
hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari
ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan
bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar.” (Al Baqarah:255)
لآَإِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ
الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(Al-Baqarah: 256).
B. Penafsiran terhadap surat al
baqarah ayat 255-256 tentang aqidah
1. Ayat 255
Ayat Kursi
termasuk dari ayat Al-Quran yang hanya Allah turunkan kepada Nabi Muhammad dan
tidak Dia turunkan kepada selainnya, hal ini sebagaimana atsar yang disampaikan
Ali dari Abu Ubaid: “Ayat Kursi diberikan kepada Nabimu dari tempat penyimpanan
yang berada di bawah Arsy, dan tidak diberikan kepada seorang pun sebelumnya”.
Ayat ini
mashur dengan nama Ayat Kursi, penamaan ini bukan hasil ijtihad ulama, tetapi
dari Rasulullah saw. sebagaimana dalam satu riwayat bahwa ketika Rasulullah
saw. ditanya oleh salah seorang sahabatnya tentang “ayat apa yang paling agung
dari kitabullah?” Beliau menjawab, “Ayat Kursi”, kemudian Rasulullah membaca
ayat ini. (HR Ahmad dan Nasa’i)
Ayat Kursi sangat
kental dengan nuansa aqidah karena di dalamnya terdapat penetapan tiga macam
tauhid yaitu tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat. Di
awal ayat terdapat penetapan tauhid uluhiyah (اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ), kemudian Allah menyebutkan tauhid asma wa shifat dalam
firman-Nya (الْحَيُّ الْقَيُّومُ), dan firman-Nya
(لَّهُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ) merupakan penetapan rububiyah Allah.
Ayat ini mengandung pelajaran penting tentang syafaat, bahwa syafaat adalah
milik Allah dan hanya boleh meminta syafaat kepada Allah semata, sebagaimana
firman-Nya
(مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ) .
Dalam ayat
ini juga terkandung penetapan atas sempurnanya ilmu Allah dalam ayat
(يَعْلَمُ مَابَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ). Tidak ada sesuatupun yang tersembunyi
dari ilmu Allah. (Tashil li Takwilit Tanzil oleh Musthafa Al Adawi 3: 454).
Pengertian Tuhid uluhiyah,tauhid asma
wa sifhat,dan tauhid rububiyah.
Pengertian
Tauhid
Tauhid
secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu
(dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja.Syaikh
Ibnu Sholeh Al Utsaimin berkata : “Makna ini tidak tepat kecuali
diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang
kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Lihat Syarh
Tsalatsatil Ushul).Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah
sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya(Lihat
Syarh Tsalatsatil Ushul).Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa
sesungguh banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi mereka
menyembah Malaikat, menyembah para Nabi, menyembah orang-orang shalih atau
bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan
Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.
Tauhid
Uluhiyah
Menurut Al-Ustadz Yazid bin Abdul
Qadir Jawas
Artinya, mengesakan Allah Subhanahu
wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila hal itu disyari’atkan
oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh
(penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), isthighotsah (minta pertolongan
di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan
dan diperintahkan Allah Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun.
Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya
kepada Allah semata dan ikhlas karena-Nya. Dan tidak boleh ibadah tersebut
dipalingkan kepada selain Allah.
Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apapun. Bila ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya jatuh kepada Syirkun Akbar (syirik yang besar) dan tidak diampuni dosanya.[Lihat An-Nisaa: 48, 116] [1] Al-Ilah artinya al-Ma’luh, yaitu sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan.
Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apapun. Bila ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya jatuh kepada Syirkun Akbar (syirik yang besar) dan tidak diampuni dosanya.[Lihat An-Nisaa: 48, 116] [1] Al-Ilah artinya al-Ma’luh, yaitu sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:“Dan
Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada sesembahan yang haq melainkan
Dia. Yang Mahapemurah lagi Maha-penyayang”[Al-Baqarah:163]
Berkata Syaikh al-‘Allamah
‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah.(wafat th. 1376H): “Bahwasanya
Allah itu tunggal Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat dan perbuatan-Nya. Tidak ada
sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada
yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara dan tidak
ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang mencipta dan mengatur alam semesta ini
kecuali hanya Allah. Apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak
untuk diibadahi. Tidak boleh Dia disekutukan dengan seorang pun dari
makhluk-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.“Allah
menyatakan bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar selain Dia, Yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan demikian). Tidak ada yang berhak disembah dengan benar selain-Nya,
Yang Maha-perkasa lagi Mahabijaksana”[Ali ‘Imran: 18]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
mengenai Lata, Uzza dan Manat yang disebut sebagai tuhan, namun tidak diberi
hak Uluhiyah:
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama
yang kamu dan bapak-bapakmu mengada-adakannya, Allah tidak menurunkan suatu keterangan
pun untuk (menyembah)nya…”[An-Najm:23]
Setiap sesuatu yang disembah selain
Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bathil, dalilnya adalah firman Allah Azza wa
Jalla.“(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah,
Dia-lah Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah,
itulah yang bathil, dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Mahatinggi lagi
Mahabesar” [Al-Hajj: 62]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman
tentang Nabi Yusuf 'alaihis Sallam yang berkatakepada kedua temannya di
penjara: “Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang
bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak
menyembah selain Allah, kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek
moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang
nama-nama itu…”[Yusuf: 39-40]
Oleh karena itu para Rasul ‘Alaihimus
Salam berkata kepada kaumnya agar beribadah hanya kepada Allah saja[3]“Sembahlah
Allah olehmu sekalian, sekali-kali tidak ada sesembahan yang haq selain
daripada-Nya. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)” [
Al-Mukminuun: 32]
Orang-orang musyrik tetap saja
mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil sesembahan selain Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan
itu dengan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pengambilan tuhan-tuhan yang
dilakukan oleh orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan dua bukti.
Pertama.
Tuhan-tuhan yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan Uluhiyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat menarik kemanfaatan, tidak dapat menolak bahaya, tidak dapat menghidupkan dan mematikan.
Tuhan-tuhan yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan Uluhiyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat menarik kemanfaatan, tidak dapat menolak bahaya, tidak dapat menghidupkan dan mematikan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Mereka
mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan tuhan
itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa
untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk
mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan,
menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” [Al-Fur-qaan:3]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Katakanlah:
‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Mereka tidak
memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka
tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit. Dan bumi dan
sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.’ Dan
tiadalah berguna syafaat di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah
diizinkan-Nya memperoleh syafaat..”[Saba’: 22-23]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Apakah
mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tidak dapat
menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu tidak mampu memberi
pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun
berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” [Al-A’raaf:191-192]
Apabila keadaan tuhan-tuhan itu
demikian, maka sungguh sangat bodoh, bathil dan zhalim apabila menjadikan
mereka sebagai ilah dan tempat meminta pertolongan.
Kedua:
Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya Rabb, Pencipta, yang di tangan-Nya kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dia-lah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi-Nya.Ini mengharuskan pengesaan Uluhiyyah (penghambaan), seperti mereka mengesakan Rububiyah (ketuhanan) Allah. Tauhid Rububiyah mengharuskan adanya konsekuensi untuk melaksanakan Tauhid Uluhiyah (beribadah hanya kepada Allah saja). “Hai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui”[Al-Baqarah: 21-22]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus
2004M]
Foote Note
[1]. Disebutkan oleh Ibnu
Katsir dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Atha’, Ikrimah, asy-Sya’bi, Qatadah dan
lainnya. Lihat Fathul Majiid Syarh Kitabit Tauhiid (hal. 39-40) tahqiq Dr.
Walid bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Furaiyan.
[2]. Lihat Min Ushuuli
‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah dan Aqidatut Tauhiid (hal. 36) oleh Dr.
Shalih al-Fauzan, Fathul Majiid Syarah Kitabut Tauhiid dan al-Ushuul
ats-Tsalaatsah (Tiga Landasan Utama).
[3]. Lihat Taisirul
Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 63, cet. Mak-tabah al-Ma’arif
, 1420 H). http://www.almanhaj.or.id/content/1587/slash/0
Tauhid Rububiyah
Menurut
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan.
Tauhid adalah meyakini keesaan Allah
dalam Rububiyah, ikhlas beribadah kepadaNya, serta menetapkan bagiNya Nama-nama
dan Sifat-sifatNya. Makna
tauhid rububiyah yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala
perbuatanNya, dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan segenap
makhluk. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:“Allah menciptakan segala sesuatu
…” [Az-Zumar: 62]
Bahwasanya Dia adalah Pemberi rizki
bagi setiap manusia, binatang dan makhluk lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman: “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah
yang memberi rizkinya, …” [Hud : 6]
Dan
bahwasanya Dia adalah Penguasa alam dan Pengatur semesta, Dia yang mengangkat
dan menurunkan, Dia yang memuliakan dan menghinakan, Mahakuasa atas segala
sesuatu. Pengatur rotasi siang dan malam, Yang menghidupkan dan Yang mematikan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah:
“Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang
Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau
Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau
masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan
Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rizki siapa yang
Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” [Ali Imran: 26-27]
Allah telah
menafikan sekutu atau pembantu dalam kekuasaan-Nya. Sebagaimana Dia menafikan
adanya sekutu dalam penciptaan dan pemberian rizki. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
“Inilah
ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan
oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah …” [Luqman: 11]
“Atau
siapakah dia ini yang memberi kamu rizki jika Allah menahan rizkiNya?”
[Al-Mulk: 21].
Allah
menyatakan pula tentang keesaanNya dalam rububiyah-Nya atas segala alam
semesta. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam.” [Al-Fatihah: 2]
“Sesungguhnya
Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakanNya pula) matahari, bulan dan
bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintahNya. Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan semesta
alam.” [Al-A'raf: 54]
Allah
menciptakan semua makhlukNya di atas fitrah pengakuan terhadap rububiyah-Nya.
Bahkan orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah dalam ibadah juga mengakui
keesaan rububiyah-Nya.
“Katakanlah:
“Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya `Arsy yang besar?”
Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak
bertakwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tanganNya berada kekuasaan atas segala
sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari
(azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.”
Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?”
[Al-Mu'minun: 86-89]
Jadi, jenis
tauhid ini diakui semua orang. Tidak ada umat mana pun yang menyangkalnya.
Bahkan hati manusia sudah difitrahkan untuk mengakuiNya, melebihi fitrah
pengakuan terhadap yang lain-Nya. Sebagaimana perkataan para rasul yang
difirmankan Allah:
“Berkata
rasul-rasul mereka: “Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit
dan bumi?” [Ibrahim: 10]
Adapun
orang yang paling dikenal pengingkarannya adalah Fir’aun. Namun demikian di
hatinya masih tetap meyakiniNya. Sebagaimana perkataan Musa alaihis salam
kepadanya:
“Musa
menjawab: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan
mu`jizat-mu`jizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai
bukti-bukti yang nyata: dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir`aun, seorang
yang akan binasa”. [Al-Isra': 102]
Ia juga
menceritakan tentang Fir’aun dan kaumnya:
“Dan mereka
mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka
meyakini (kebenaran) nya.” [An-Naml: 14]
Begitu pula
orang-orang yang mengingkarinya di zaman ini, seperti komunis. Mereka hanya
menampakkan keingkaran karena ke-sombongannya. Akan tetapi pada hakikatnya,
secara diam-diam batin mereka meyakini bahwa tidak ada satu makhluk pun yang
ada tanpa Pencipta, dan tidak ada satu benda pun kecuali ada yang membuatnya,
dan tidak ada pengaruh apa pun kecuali pasti ada yang mempengaruhinya. Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka
sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya
mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).”[Ath-Thur: 35-36]
Perhatikanlah
alam semesta ini, baik yang di atas maupun yang di bawah dengan segala
bagian-bagiannya, anda pasti mendapati semua itu menunjukkan kepada Pembuat,
Pencipta dan Pemiliknya. Maka mengingkari dalam akal dan hati terhadap pencipta
semua itu, sama halnya mengingkari ilmu itu sendiri dan mencampakkannya,
keduanya tidak berbeda.
Adapun
pengingkaran adanya Tuhan oleh orang-orang komunis saat ini hanyalah karena
kesombongan dan penolakan terhadap hasil renungan dan pemikiran akal sehat.
Siapa yang seperti ini sifatnya maka dia telah membuang akalnya dan mengajak
orang lain untuk menertawakan dirinya.
[Disalin
dari kitab At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-Ali, Edisi Indonesia Kitab Tauhid 1,
Penulis Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan, Penerjemah Agus
Hasan Bashori Lc, Penerbit Darul
Haq]http://www.almanhaj.or.id/content/1978/slash/0]
Tauhid Al-Asma’ Wash-Shifat
Menurut Al-Ustadz Yazid bin Abdul
Qadir Jawas
Ahlus Sunnah
menetapkan apa-apa yang Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah tetapkan atas diri-Nya, baik itu dengan Nama-Nama maupun
Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mensucikanNya dari segala aib dan
kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Kita wajib menetapkan Sifat
Allah sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak boleh
dita'wil.
Al-Walid
bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, al-Auza’iy, al-Laits bin
Sa’ad dan Sufyan ats-Tsaury tentang berita yang datang mengenai Sifat-Sifat
Allah, mereka semua menjawab:
“Perlakukanlah
(ayat-ayat tentang Sifat Allah) sebagaimana datangnya dan janganlah kamu
persoalkan (jangan kamu tanya tentang bagaimana sifat itu).”[1]
Imam
Asy-Syafi’ Rahimahullah berkata:
“Aku
beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang datang dari Allah sesuai dengan
apa yang diinginkan-Nya dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada apa-apa yang
datang dari beliau, sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah"[2]
Kata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah: “Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus
Sunnah mereka mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat dengan menetapkan apa-apa
yang Allah telah tetapkan atas diri-Nya dan telah ditetapkan Rasul-Nya
Shallallahu alaihi wa sallam untuk-Nya, tanpa tahrif[3] dan ta’thil[4] serta
tanpa takyif[5] dan tamtsil[6]. Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa
ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan Sifat-Sifat
Allah dengan makhluk-Nya”
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Mahamendengar lagi
Mahamelihat" [Asy-Syuura':11]
Lafazh ayat
: “Tidak ada yang serupa dengan-Nya” merupakan bantahan kepada golongan yang
menyamakan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.
Sedangkan
lafazh ayat : “Dan Dia Mahamendengar lagi Mahamelihat” adalah bantahan kepada
orang-orang yang menafikan/mengingkari Sifat-Sifat Allah.
‘Itiqad
Ahlus Sunnah dalam masalah Sifat Allah Subhanhu wa Ta’ala didasari atas dua
prinsip:
Pertama.
Bahwasanya
Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib disucikan dari semua sifat-sifat kurang secara
mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati, dan lainnya.
Kedua.
Allah mempunyai
sifat-sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit pun juga, tidak ada
sesuatu pun dari makhluk yang menyamai Sifat-Sifat Allah.[7]
Ahlus
Sunnah wal Jama’ah tidak menolak sifat-sifat yang disebutkan Allah untuk
Diri-Nya, tidak menyelewengkan kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kedudukan
yang semestinya, tidak mengingkari tentang Asma’ (Nama-Nama) dan ayat-ayatNya,
tidak menanyakan tentang bagaimana Sifat Allah, serta tidak pula mempersamakan
Sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya.
Ahlus Sunnah
wal Jama’ah mengimani bahwa Allah Azza wa Jalla tidak sama dengan sesuatu
apapun juga. Hal itu karena tidak ada yang serupa, setara dan tidak ada yang
sebanding dengan-Nya Azza wa Jalla, serta Allah tidak dapat diqiaskan dengan
makhluk-Nya.
Yang demikian
itu dikarenakan hanya Allah Azza wa Jalla sajalah yang lebih tahu akan Diri-Nya
dan selain Diri-Nya. Dialah yang lebih benar firman-Nya, dan lebih baik
Kalam-Nya daripada seluruh makhluk-Nya, kemudian para Rasul-Nya adalah
orang-orang yang benar, jujur, dan juga yang dibenarkan sabdanya. Berbeda
dengan orang-orang yang mengatakan terhadap Allah Azza wa Jalla apa yang tidak
mereka ketahui, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Mahasuci
Rabb-mu, yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan
kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul, dan segala puji bagi Allah Rabb
sekalian alam."[Ash-Shaffat: 180-182]
Allah Jalla
Jalaluhu dalam ayat ini mensucikan diri-Nya, dari apa yang disifatkan untuk-Nya
oleh penentang-penentang para Rasul-Nya. Kemudian Allah Azza wa jalla
melimpahkan salam sejahtera kepada para Rasul, karena bersihnya perkataan
mereka dari hal-hal yang mengurangi dan menodai keagungan Sifat Allah.[8]
Allah
Subhanahu wa Ta'ala dalam menuturkan Sifat dan Asma’Nya, memadukan antara
an-Nafyu wal Itsbat (menolak dan menetapkan)[9] Maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah
tidak menyimpang dari ajaran yang dibawa oleh para Rasul, karena itu adalah
jalan yang lurus (ash-Shiraathal Mustaqiim), jalan orang-orang yang Allah
karuniai nikmat, yaitu jalannya para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin[10]
[Disalin
dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama
Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote
Note
[1].
Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar al-Khallal dalam Kitabus Sunnah, al-Laalikai
(no. 930). Lihat Fatwa Hamawiyah Kubra (hal. 303, cet. I, 1419 H) oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Hamd bin Abdil Muhsin at-Tuwaijiry, Mukhtashar
al-Uluw lil Aliyil Ghaffar (hal. 142 no. 134). Sanadnya shahih.
[2].
Lihat Lum¡’atul I’tiqaad oleh Imam Ibnul Qudamah al-Maqdisy, syarah oleh
Syaikh Muhammad Shalih bin al-Utsaimin (hal. 36).
[3].
Tahrif atau ta’wil yaitu merubah lafazh Nama dan Sifat, atau merubah maknanya,
atau menyelewengkan dari makna yang sebenarnya.
[4].
Ta’thil yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah atau mengingkari
seluruh atau sebagian Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Perbedaan
antara tahrif dan ta’thil ialah, bahwa ta’thil itu mengingkari atau menafikan
makna yang sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash dari al-Qur’an atau hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan tahrif ialah, merubah lafazh atau
makna, dari makna yang sebenarnya yang terkandung dalam nash tersebut.
[5].
Takyif yaitu menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau mempertanyakan:
“Bagaimana Sifat Allah itu?”. Atau menentukan bahwa Sifat Allah itu hakekatnya
begini, seperti menanyakan: “Bagaimana Allah bersemayam?” Dan yang sepertinya,
karena berbicara tentang sifat sama juga berbicara tentang dzat. Sebagaimana
Allah Azza wa Jalla mempunyai Dzat yang kita tidak mengetahui kaifiyatnya. Dan
hanya Allah Azza wa Jalla yang mengetahui dan kita wajib mengimani tentang
hakikat maknanya.
[6].
Tamtsil sama dengan Tasybih, yaitu mempersamakan atau menyerupakan Sifat Allah
Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya. Lihat Syarah Aqidah al-Wasithiyah (I/86-100)
oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Aqidah al-Wasithiyah (hal
66-69) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras, Tahqiq Alawiy as-Saqqaf,
at-Tanbiihat al-Lathifah ala Mahtawat alaihil Aqidah al-Wasithiyah (hal 15-18)
oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, tahqiq Syaikh Abdul Aziz bin Bazz,
al-Kawaasyif al-Jaliyyah an Ma’anil Wasithiyah oleh Syaikh Abdul Aziz
as-Salman.
[7].
Lihat Minhajus Sunnah (II/111, 523), tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim.
[8].
Lihat at-Tanbiihaat al-Lathiifah hal. 15-16.
[9].
Maksudnya, Allah memadukan kedua hal ini ketika menjelaskan Sifat-Sifat-Nya
dalam al-Qur-an. Tidak hanya menggunakan Nafyu saja atau Itsbat saja.
Nafyu
(penolakan) dalam al-Qur’an secara garis besarnya menolak adanya kesamaan atau
keserupaan antara Allah dengan makhluk-Nya, baik dalam Dzat maupun sifat, serta
menolak adanya sifat tercela dan tidak sempurna bagi Allah. Dan nafyu bukanlah
semata-mata menolak, tetapi penolakan yang di dalamnya terkandung suatu
penetapan sifat kesempurnaan bagi Allah, misalnya disebutkan dalam al-Qur’an
bahwa Allah tidak mengantuk dan tidak tidur, maka ini menunjukkan sifat hidup
yang sempurna bagi Allah.
Itsbat
(penetapan), yaitu menetapkan Sifat Allah yang mujmal (global), seperti pujian
dan kesempurnaan yang mutlak bagi Allah dan juga menetapkan Sifat-Sifat Allah
yang rinci seperti ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, hikmah-Nya, rahmat-Nya dan yang
seperti itu. (Lihat Syarh al-Aqiidah al-Wasithiyyah oleh Khalil Hirras, tahqiq
Alwiy as-Saqqaf, hal. 76-78).
[10].
Lihat QS. An-Nisaa¡’ 69 dan at-Tanbiihaat al-Lathiifah hal. 19-20.
Surat al baqarah
ayat 255 juga mengandung sepuluh kalimat yang menyendiri:
Firman Allah swt:
اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ
“Allah,
Tidak ada tuhan melainkan Dia”.
Pemberitahuan yang
menyatakan bahwa Dialah Tuhan Yang Maha Esa bagi semua mahluk.
الْحَيُّ الْقَيُّومُ
“Yang Hidup kekal
terus menerus mengurus (mahluk-Nya)”.
Yakni Dia adalah Zat Yang Hidup kekal, tidak mati
selama-lamanya,lagi terus-menerus mengurus selain-Nya. Sahabat Umar membacanya aiyamun
dengan pengertian bahwa semua makhluk berhajat kepada-Nya, sedangkan Dia
Mahakaya dari semua makhluk. Dengan kata lain, segala sesuatu tidak akan
berujud tanpa perintah dari-Nya.
لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَنَوْمُ
“Tidak mengantuk dan tidak tidur”
Artinya, Dia tidak pernah terkena
kekurangan, tidak lupa, tidak pula lalai terhadap makhluk-Nya. Bahkan Dia
mengurus semua jiwa berikut amal perbuatannya, lagi menyaksikan segala sesuatu.
Tiada sesuatu pun yang gaib (tidak diketahui) oleh-Nya, tiada suatu perkara yang
samar pun yang tidak diketahui-Nya. Di antara kesempurnaan sifat Qayyum-Hyai
ialah Dia tidak pernah mengantuk dan tidak pernah pula tidur. Lafaz la
ta-khuzuhu artinya tidak pernah terkena; sinatun, artinya
mengantuk, yaitu pendahuluan dari tidur. Wala naum, dan tidak
pula tidur, lafaz ini disebutkan karena pengertiannya lebih kuat dari pada yang
pertama.
لَّهُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي
اْلأَرْضِ
“kepunyaan-Nya apa yang dilangit
dan dibumi”
Ayat ini memberitakan bahwa semuanya adalah hamba-hamba-Nya,
berada dalam kekuasaan-Nya dan di bawah pengaturan dan pemerintahan-Nya.
مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ
إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak ada seorang pun yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya
melainkan dengan seizin-Nya.”
يَعْلَمُ مَابَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ
“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang
mereka.”
Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa pengetahuan Allah
meliputi semua yang ada, baik masa lalu, masa sekarang, maupun masa depannya.
وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ
عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ
“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan
apa yang dikehendaki-Nya”
Yakni tidak ada seorang pun yang mengetahui sesuatu dari ilmu
Allah kecuali sebatas apa yang Allah beri tahukan kepadanya dan apa yang
diperlihatkan kepadanya. Akan tetapi, makna ayat ini dapat ditafsirkan bahwa
makna yang dimaksud ialah mereka tidak dapat mengetahui sesuatu pun mengenai pengetahuan
tentang Zat dan sifat-sifat-Nya melainkan hanya sebatas apa yang diperlihatkan
oleh Allah kepadanya.
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْض
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu
Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, dari Mutarrif, dari
Tarif, dari Ja'far ibnu Abui Mugirah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna ayat ini. Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan
'Kursi-Nya' ialah ilmu- Nya. Hal yang sama telah diriwayatkan Ibnu Jarir
melalui hadis Abdullah ibnu Idris dan Hasyim, keduanya dari Mutarrif ibnu Tarif
dengan lafaz yang sama. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan pula dari
Sa'id ibnu Jubair hal yang semisal. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama
lainnya mengatakan, "Yang dimaksud dengan Kursi ialah tempat kedua telapak
kaki (kekuasaan-Nya)." Kemudian ia meriwayatkannya dari Abu Musa,
As-Saddi, Ad-Dahhak, dan Muslim Al-Batin.
وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا
“Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya.”
Maksudnya, tidak memberatkan-Nya dan tidak mengganggu-Nya sama
sekali memelihara langit dan bumi serta semua makhluk yang ada pada keduanya,
bahkan hal tersebut mudah dan sangat ringanbagi-Nya. Dialah yang mengatur semua
jiwa beserta semua apa yang diperbuatnya, Dialah yang mengawasi segala sesuatu.
Tidak ada sesuatu pun yang terhalang dari-Nya, dan dada sesuatu pun yang gaib bagi-Nya.
Segala sesuatu seluruhnya hina di hadapan-Nya dalam keadaan tunduk dan patuh
bila dibandingkan dengan-Nya, lagi berhajat kepada-Nya, sedangkan Dia Mahakaya
lagi Maha Terpuji, Maha melakukan semua yang dikehendaki-Nya, tidak dimintai
pertanggung jawaban tentang apa yang dilakukan-Nya, sedangkan mereka dimintai
pertanggungjawaban. Dia Maha menang atas segala sesuatu, Maha Menghitung atas
segala sesuatu, Maha Mengawasi (Waspada), Mahaagung. Tidak ada Tuhan selain
Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia.
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيم
“Dan Allah Mahatinggi lagi Maha besar.
2. Ayat 256
Ayat ini menerangkan tentang kesempurnaan ajaran Islam, dan
bahwasanya karena kesempurnaan bukti-buktinya, kejelasan ayat-ayat dan
keadaannya merupakan ajaran akal dan ilmu, ajaran fitrah dan hikmah, ajaran
kebaikan dan perbaikan, ajaran kebenaran dan jalan yang lurus, maka karena
kesempurnaannya dan penerimaan fitrah terhadapnya, maka Islam tidak memerlukan
pemaksaan, karena pemaksaan itu terjadi pada suatu perkara yang dijauhi oleh
hati, tidak memiliki hakikat dan kebenaran, atau ketika bukti-bukti dan
ayat-ayatnya tidak ada, maka barangsiapa yang telah mengetahui ajaran ini dan
dia menolaknya maka hal itu di dasari karena kedurhakaannya, karena ( قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ) “sesung-guhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan
yang sesat” hingga tidak ada suatu alasan pun bagi seseorang dan tidak
pula hujjah apabila dia menolak dan tidak menerimanya.
Tidak ada perselisihan antara pengertian ayat ini dengan
ayat-ayat lainnya yang mengharuskan berjihad, karena Allah telah memerintahkan
untuk berperang agar agama Allah semuanya hanya milik Allah, dan demi
memberantas kesewenang-wenangan orang-orang yang melampaui batas terhadap
agama, maka kaum muslimin telah berijma’ bahwa jihad itu telah ditetapkan
bagi orang yang baik maupun orang yang jahat, dan bahwasanya jihad itu di
antara kewajiban-kewajiban yang berkesinambungan baik jihad perkataan maupun
jihad perbuatan, dan siapa saja di antara ahli tafsir yang berpendapat bahwa
ayat ini meniadakan ayat-ayat jihad hingga mereka menyatakan dengan tegas bahwa
ayat-ayat jihad itu telah dihapus, maka pendapat mereka itu lemah secara lafazh
maupun makna, sebagaimana hal itu jelas sekali bagi orang-orang yang
merenungkan ayat yang mulia ini, sebagaimana juga telah kami jelaskan
sebelumnya.
Kemudian Allah ta’ala menyebutkan pembagian manusia
kepada dua bagian; pertama, manusia yang beriman kepada Allah semata yang
tidak ada sekutu bagiNya dan kafir kepada thagut yaitu segala hal yang
meniadakan keimanan kepada Allah dari kesyirikan dan selainnya maka orang ini
telah, ( اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى ) “telah ber-pegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus” yang tidak ada putusnya, bahkan tali itu lurus di atas
ajaran yang benar hingga sampai kepada Allah dan negeri
kemuliaanNya, kedua dapat diambil dari pemahaman terbalik ayat ini
yaitu bahwa barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah bahkan dia kafir
kepadaNya dan beriman kepada thagut, maka dia akan binasa dengan kebinasaan
yang abadi dan disiksa dengan siksaan yang selamanya.
Dan firmanNya, ( وَاللهُ سَمِيعٌ
) “Dan Allah Maha
Mendengar” yaitu kepada segala suara dengan segala macam perbedaan
bahasanya menurut segala bentuk kebutuhannya, dan juga Maha Mendengar akan doa
orang-orang yang bermunajat dan ketundukan orang-orang yang merendahkann diri
(kepadaNya) ( عَلِيمٌ
) “lagi Maha
Mengetahui” segala yang disembunyikan oleh hati, dan segala perkara yang
tersembunyi dan tidak nampak, hingga Dia membalas setiap orang sesuai dengan
apa yang diperbuatnya dari niat maupun amalannya.
Pelajaran
yang bisa diambil dari ayat ini di antaranya adalah :
1. Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk agama
Islam, karena telah jelas yang mana petunjuk dan yang mana kesesatan,
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman
(لآَإِكْرَاهَ فِي الدِّين) tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Dan dari
firman Allah ini juga menjelaskan bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk
memaksa seseorang memeluk agama islam. as-Sunnah telah menjelaskan tentang cara
bermuamalah dengan orang-orang kafir, yaitu dengan medakwahkan Islam kepada
mereka, jika mereka enggan maka wajib atas mereka untuk membayar jiziyah, dan
jika mereka tidak mau kita perangi mereka.
2. Sesungguhnya hanya ada dua pilihan yaitu petunjuk atau
kesesatan, karena jika kalau ada yang ketiga maka AllahTa’ala akan
menyebutkannya, karena kedudukannya di sini adalah pembatasan, dan yang
manunjukan hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala
(فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ ) Tidak ada setelah kebenaran kecuali kebatilan (Yunus:
32), dan firman Allah Ta’ala: (وَإِنَّآ أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ) dan sesungguhnya kami atau kamu
(orang-orang musyrik), pasti berada di dalam kebenaran atau kesesatan yang
nyata.(Saba’:24)
3. Sesungguhnya tidak akan sempurna keikhlasan seseorang
kepada Allah kecuali dengan menolak semua bentuk kesyirikan, ini di dasarkan
pada firman Allah Ta’ala:
(فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ) Barangsiapa yang kafir kepada thagut
dan beriman kepada Allah. barangsiapa yang beriman kepada Allah dan tidak
kafir dan mengingkari thagut maka ia bukan orang yang beriman.
4. Bahwasanya setiap sesuatu yang disembah selain Allah
adalah thogut. Ini di dasarkan pada firman Allah Ta’ala: (فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ) Barangsiapa yang kafir kepada thagut
dan beriman kepada Allah.
5. Bahwasanya keselamatan dunia dan akhirat hanya dengan
kafir dan mengingkari thogut dan beriman kepada AllahTa’ala, ini di dasari
firman Allah Ta’ala
(فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى): Sungguh dia telah berpegang dengan
buhul tali yang amat kuat.
6. Sesungguhnya amal perbuatan bertingkat-tingkat, ini di
tunjukan dari kata yang menandakan adanya tingkatan tersebut (الْوُثْقَى): Yang sangat kuat, adanya keutamaan
pada sesuatu menghendaki adanya sesuatu yang lebih utama dan adanya sesuatu
yang lebih rendah keutamaan darinya. Tidak diragukan lagi bahwasanya amal
perbuatan itu bertingkat-tingkat keutamaannya, yang mana ini semua ditunjukan
oleh nash-nash al-Qur–an dan as-Sunnah, seperti firman Allah Ta’ala (لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً): Untuk dia menguji kalian, siapakah diantara kalian yang
lebih baik amal perbuatannya. (al-Mulk: 2). Dan ( حْسَنُ): Lebih baik adalah kata yang
menunjukan tingkatan. Ini menunjukan adanya tingkatan keutamaan amal di dalam
kebaikan atau kebagusannya. Dan (dalam sebuah hadist Rasulullah shallahu
‘alaihi wa sallam ditanya;
(أي العمل أحب إلى الله قال: الصلاة على وقتها): Amal apa yang paling Allah cintai,
beliau menjawab: Sholat pada waktunya. Dan di dalam sebuah hadist al-Qudsi
Allah Subhanahu wata’ala berfirman : (مَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا
افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ): Tidaklah seorang hamba mendekatkan
diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih aku cintai kecuali dari apa yang telah
aku wajibkan kepadanya (HR. Bukhari: 6502). Adanya tingkatan amal
perbuatan mengharuskan adanya tingkatan orang yang beramal tersebut. Semakin
utama amal perbuatan yang dilakukan seseorang maka semakin utama dan mulia
orang tersebut.
Tingkatan amal perbuatan itu di pengaruhi oleh beberapa hal:
a. Pelaku, ini didasarkan kepada sabda
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam :
(لا تصب أصحابي فوالذي نفسي بيده لو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا ما
أدرك مد أحد ولا نصيفه)
“janganlah kalian mecela para sahabatku, demi Dzat yang
jiwaku ada di tangannya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakan emas
sebesar gunung Uhud berupa emas, maka infak tersebut tidak menyamai satu
genggaman harta yang mereka infakan dsan bahkan tidak sampai setengah
genggaman.” (HR.Bukhari dan Muslim).
b. Amal perbuatan atau jenis amal tersebut, seperti sholat
lebih utama daripada zakat, zakat lebih utama dari pada puasa, ini berdasarkan
amal. Adapun berdasarkan jenis amal tersebut, maka semua jenis amalan
fardhu(wajib) lebih utama daripada amalan sunnah. Misalnya sholat subuh lebih
mulia daripada sholat sunnah sebelum subuh.
c. Waktu, ini di dasari dari hadis Rasulullah shallahu
‘alaihi wa sallam:
عن ابن عباس ان النبي (صلوات ربي وسلامه عليه) قال (( ما من ايام
العمل الصالح احب الى الله عز وجل من هذه الايام )) (( يعني ايام العشر )) قالوا :
يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله ؟ قال : (( ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل
خرج بنفسه وماله ثم لم يرجع بشئ من ذلك ))
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi shallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Tidak ada hari-hari di mana amal shalih lebih di cintai
oleh Allah ‘azza wa jalla dari hari ini (yaitu sepuluh hari bulan asy-syura)
para shohabat bertanya: Wahai Rasulullah apakah tidak juga jihad di jalan
Allah?, Rasulullah menjawab walau jihad di jalan Allah, kecuali seorang yang
keluar dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu
darinya. (HR. Bukhori: 926)
d.Tempat, ini di dasari dari sabda Rasulullah shallahu
‘alaihi wa sallam:
صلاة في مسجدي هذا خيرمن ألف صلاة فيما سواه إلا المسجد الحرام))
Satu sholat di masjidku ini lebih baik daripada seribu sholat
di mesjit lain kecuali, di mesjidil haram. (HR. Bukhori: 92)
e. Cara melakukan, artinya bahwa tata cara beribadah lebih
utama daripada tatacara yang lain. Seperti kekhusu’an didalam sholat, Allah
berfirman:
(قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ {1} الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ
خَاشِعُونَ {2})
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu)
orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, (QS. Al-Mukminun: 1-2)
f. Kesesusaian dengan contoh Nabi shallahu ‘alaihi wa
sallam, ini berlandaskan dengan firman Allah Ta’ala:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ
Katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi.(QS. Al-Imron: 31)
Semakin seseorang mencontoh Rasulullah dalam beramal, maka
semakin utama amal yang ia lakukan.
g. Keikhlasan, seseorang yang ikhlas dalam melakukan amal
maka lebih utama daripada seseorang yang beramal di barengi kesyirikan (seperti
riya).
h. Kondisi, seperti seseorang yang selalu lalai dan enggan
dalam beribadah dengan seseorang yang selalu melaksanakan ketaatan, tentu amal
yang dilakukan oleh seseorang yang selalu melaksanakan ketaatan lebih utama.
7. Penetapan dua nama yang terkandung di dalam ayat ini,
yaitu (سَمِيعٌ عَلِيمٌ):
Maha mendengar, dan
maha mengetahui.
[Sumber: Diringkas dan diterjemahkan dari tafsir al-Qur-an
al-Karim ,karya syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin jilid 3, dan Tafsir
as-Sa'di karya syaikh Abdurrohman bin Nashir as Sa'di, semoga Alloh merahmati
keduanya. Diposting oleh sufiyani]
Pengertian Thaghut
Secara bahasa, kata ini diambil dari kata طَغَى, artinya melampaui batas. Allah
berfirman:
إِنَّا لَمـَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ
إِنَّا لَمـَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ
“Sesungguhnya ketika air melampaui batas, Kami bawa kalian di
perahu.” (Al-Haqah:11)
Adapun menurut istilah syariat, definisi yang terbaik adalah yang disebutkan Ibnul Qayyim: “(Thaghut) adalah setiap sesuatu yang melampui batasannya, baik yang disembah (selain Allah), atau diikuti atau ditaati (jika dia ridha diperlakukan demikian).” Ibnul Qayyim berkata: “Jika engkau perhatikan thaghut-thaghut di alam ini, tidak akan keluar dari tiga jenis golongan tersebut.” Definisi lain, thaghut adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah (dalam keadaan dia rela).
Adapun menurut istilah syariat, definisi yang terbaik adalah yang disebutkan Ibnul Qayyim: “(Thaghut) adalah setiap sesuatu yang melampui batasannya, baik yang disembah (selain Allah), atau diikuti atau ditaati (jika dia ridha diperlakukan demikian).” Ibnul Qayyim berkata: “Jika engkau perhatikan thaghut-thaghut di alam ini, tidak akan keluar dari tiga jenis golongan tersebut.” Definisi lain, thaghut adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah (dalam keadaan dia rela).
Wajibnya
Mengingkari Thaghut
Allah mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya untuk mengkufuri thaghut dan beriman kepada Allah. Dasarnya adalah:
1. Allah mengutus Rasul-Nya untuk mendakwahkan masalah ini.
Allah berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوت
”Dan telah kami utus pada setiap umat seorang Rasul, (yang menyeru umatnya):Beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah oleh kalian thaghut.” (An-Nahl: 36)
Allah mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya untuk mengkufuri thaghut dan beriman kepada Allah. Dasarnya adalah:
1. Allah mengutus Rasul-Nya untuk mendakwahkan masalah ini.
Allah berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوت
”Dan telah kami utus pada setiap umat seorang Rasul, (yang menyeru umatnya):Beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah oleh kalian thaghut.” (An-Nahl: 36)
2. Kufur kepada thaghut merupakan syarat sah iman,
sehingga tidak sah iman seseorang hingga mengingkari thaghut. Allah berfirman:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْق
”Barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada
Allah maka dia telah berpegang dengan tali yang kokoh.” (Al-Baqarah: 256)
3. Karena ini terkandung dalam lafadz Laa ilaha
illallah. Ilallah adalah iman kepada Allah dan kufur kepada thaghut. Laa ilaha
menafikan semua peribatan kepada selain Allah. Laa ilaha illallah menetapkan
ibadah hanya untuk Allah.
Bentuk Pengingkaran terhadap Thaghut
Para ulama menerangkan bahwa mengkufuri thaghut terwujud
dengan enam perkara yang ditunjukkan oleh Al-Qur`an:
1. Meyakini batilnya peribadatan kepada selain Allah.
2. Meninggalkannya dan meninggalkan peribadahan kepada
selain Allah dengan hati, lisan, dan anggota badan.
3. Membencinya dengan hati dan mencercanya dengan lisan.
Cercaan dengan lisan yaitu dengan cara menunjukkan dan menerangkan bahwa
sesembahan selain Allah adalah batil dan tidak bisa memberikan manfaat.
4. Mengkafirkan pengikut dan penyembah thaghut.
5. Memusuhi mereka dengan dzahir dan batin, dengan hati
dan anggota badan.
6. Menghilangkan sesembahan-sesembahan selain Allah
dengan tangan, jika ada kemampuan.
Keenam perkara ini telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan kita
diperintahkan untuk meneladani beliau. Allah berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ
مَعَهُ
”Telah ada bagi kalian teladan yang baik pada diri Ibrahim
dan orang-orang yang bersamanya.” (Al-Mumtahanah: 4)
Nabi Ibrahim meyakini batilnya peribadahan kepada selain
Allah. Allah berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ إِبْرَاهِيمَ. إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا تَعْبُدُونَ. قَالُوا نَعْبُدُ أَصْنَامًا فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ. قَالَ هَلْ يَسْمَعُونَكُمْ إِذْ تَدْعُونَ. أَوْ يَنْفَعُونَكُمْ أَوْ يَضُرُّونَ
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ إِبْرَاهِيمَ. إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا تَعْبُدُونَ. قَالُوا نَعْبُدُ أَصْنَامًا فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ. قَالَ هَلْ يَسْمَعُونَكُمْ إِذْ تَدْعُونَ. أَوْ يَنْفَعُونَكُمْ أَوْ يَضُرُّونَ
“Bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata
kepada bapak dan kaumnya: ‘Apakah yang kalian sembah?’ Mereka berkata: ‘Kami
menyembah patung dan kami akan terus mengibadahinya.’ Maka Ibrahim berkata: ‘Apakah
(patung-patung tersebut) mendengar ketika kalian berdoa? Apakah dia bisa
memberikan manfaat atau menimpakan mudarat?’.” (Asy-Syua’ara`: 69-73)
Nabi Ibrahim meyakini batilnya sesembahan mereka, bahwa
sesembahan mereka tidak bisa memberikan manfaat atau menimpakan mudarat. Beliau
meninggalkan serta menjauhi sesembahan mereka kemudian hijrah kepada Allah.
Allah berfirman:
وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِين
“(Ibrahim) berkata: ‘Aku akan pergi kepada Rabbku, dan Dia
akan memberikan hidayah kepadaku’.” (Ash-Shaffat: 99)
Allah berfirman tentang Ibrahim:
إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ. إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي
فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ
“Aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah, kecuali Dzat
yang telah menciptakanku karena sungguh Dia akan memberikan hidayah kepadaku.”
(Az-Zukhruf: 26-27)
Allah juga berfirman tentang Ibrahim:
Allah juga berfirman tentang Ibrahim:
وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللهِ وَأَدْعُو رَبِّي
“Aku akan menjauhi kalian dan apa yang kalian sembah selain
Allah, dan aku akan berdoa kepada Rabbku.” (Maryam: 48)
Nabi Ibrahim membenci sesembahan mereka dengan hatinya dan menjelekkannya dengan lisan, sebagaimana Allah kabarkan bahwa Ibrahim berkata:
أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ
”Celakalah kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah.”
(Al-Anbiya`: 67)
Nabi Ibrahim mengingkari mereka dan mengabarkan bahwa mereka adalah kafir serta mengumumkan bahwa ia berlepas diri dari mereka, sebagaimana Allah kabarkan dalam
Nabi Ibrahim mengingkari mereka dan mengabarkan bahwa mereka adalah kafir serta mengumumkan bahwa ia berlepas diri dari mereka, sebagaimana Allah kabarkan dalam
surat Al-Mumtahanah:
كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ
وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ
“Kami ingkar terhadap kalian, dan telah tampak antara kami
dan kalian permusuhan dan kebencian, hingga kalian beriman kepada Allah saja.”
(Al-Mumtahanah: 4)
Nabi Ibrahim memusuhi mereka dan menghancurkan sesembahan
mereka. Allah berfirman:
فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلاَّ كَبِيرًا لَهُمْ
“(Ibrahim) menjadikannya hancur berkeping-keping kecuali
patung yang terbesar….”(Al-Anbiya`: 58)
Tokoh-tokoh Thaghut
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata: “Tokoh thaghut
ada lima: Iblis la’natullah ‘alaih, orang yang disembah dan dia ridha
diperlakukan demikian, orang yang menyeru orang lain agar menyembah dirinya,
orang yang mengaku mengetahui ilmu ghaib, dan orang yang berhukum selain dengan
hukum Allah.”
1. Iblis, yaitu
setan yang terkutuk dan dilaknat. Allah berfirman tentangnya:
وَإِنَّ
عَلَيْكَ لَعْنَتِي إِلَى يَوْمِ الدِّينِ
“Sesungguhnya
laknat-Ku atas kalian sampai hari kiamat.” (Shad: 78) .Awalnya Iblis bersama
malaikat, tetapi enggan bersujud kepada Adam. Ketika diperintah untuk sujud
kepada Adam itulah tampak kesombongan Iblis.
2.
Seorang yang disembah dalam keadaan ridha. Adapun yang orang yang tidak ridha
disembah bukanlah thaghut.
3. Orang yang menyeru orang lain untuk menyembah
dirinya.Dia termasuk thaghut, baik ada orang lain yang mengikuti dakwahnya
ataupun tidak. Dia sudah menjadi thaghut dengan semata menyeru orang untuk
menyembah dirinya. Termasuk dalam golongan ini adalah Fir’aun dan syaikh-syaikh
tarekat Sufi yang menyeru pengikutnya untuk menyembah mereka.
4.
Orang yang mengaku mengetahui sesuatu tentang ilmu ghaib. Karena ilmu ghaib (yang
mutlak) adalah kekhususan Allah. Allah berfirman:
قُلْ لاَ
يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ
“Katakanlah,
tidak ada yang mengetahui perkara ghaib di langit dan bumi kecuali Allah…”
(An-Naml: 65)
Rasulullah
menyatakan:
مِفْتَاحُ
الْغَيْبِ خَمْسٌ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا اللهُ؛ لَا يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ
فِي غَدٍ، وَلَا يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِي الْأَرْحَامِ، وَلَا تَعْلَمُ
نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا، وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ،
وَمَا يَدْرِي أَحَدٌ مَتَى يَجِيءُ الْمَطَرُ
“Kunci-kunci
perkara ghaib ada lima, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah: Tidak ada
seorangpun yang tahu apa yang akan terjadi besok; Tidak ada seorangpun yang
tahu apa yang ada di dalam rahim-rahim; Suatu jiwa tidak mengetahui apa yang
akan ia lakukan besok; Dan tidak mengetahui di negeri mana dia akan mati; Tidak
ada seorangpun yang mengetahui kapan hujan turun.”(HR. Al-Bukhari, Kitabul
Jum’ah, Bab LaYadri Mata Yaji`ul Mathar illallah). Maka barangsiapa mengaku
mengetahui perkara ghaib berarti telah kafir, karena telah mendustakan apa yang
telah diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Termasuk golongan thaghut yang
keempat adalah tukang sihir dan dukun-dukun.
5.
Orang yang berhukum dengan selain hukum Allah. Berhukum dengan hukum yang Allah
turunkan termasuk Tauhid Uluhiyyah dan meyakini bahwa Allah adalah hakim yang
sebenar-benarnya adalah termasuk Tauhid Rububiyah. Oleh karena itu, Allah
menyebut orang yang diikuti oleh pengikut mereka -dalam hal yang menyelisihi
apa yang Allah turunkan- sebagai rabb bagi pengikut mereka.
Allah
berfirman:
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ
“Mereka
menjadikan pendeta-pendeta dan tukang ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah…”
(At-Taubah: 31).
Berhukum
dengan selain hukum Allah bisa termasuk kufur akbar yang mengeluarkan seorang
dari Islam, dan bisa pula kufur ashgar yang tidak mengeluarkan seseorang dari
Islam. Hal ini sesuai dengan keyakinan pelakunya. Karena, orang yang berhukum
dengan selain hukum Allah ada beberapa jenis:
+ Orang yang berhukum dengan selain hukum Allah karena
merendahkan dan membenci hukum Allah. Hal ini termasuk kufur akbar yang
mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Allah berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Hal itu karena mereka membenci apa
yang Allah turunkan maka Allah menggugurkan amalan mereka.” (Muhammad: 9)
+ Orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, dengan
keyakinan bahwa hukum selain Allah lebih afdhal dan lebih baik dari hukum Allah.
Inipun kufur akbar yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam. Allah
berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Siapakah yang lebih baik hukumnya
daripada hukum Allah, bagi orang-orang yang yakin?”(Al-Ma`idah: 50)
+Orang yang berhukum dengan selain hukum Allah dengan
keyakinan bahwa hukum selain Allah tersebut sama dengan hukum Allah. Inipun
kufur akbar.
Orang yang berhukum dengan selain
hukum Allah karena meyakini tentang boleh dan halalnya berhukum dengan selain
hukum Allah. Inipun pelakunya kafir, karena telah menghalalkan apa yang Allah
haramkan.
+Orang yang berhukum dengan selain hukum Allah dalam
keadaan masih meyakini bahwa hukum Allah lebih afdhal, dan tidak menyamakan
hukum selain Allah dengan hukum-Nya, bahkan ia mengatakan bahwa hukum Allah
lebih afdhal dan lebih tinggi. Dia tidak menghalalkan tindakan berhukum dengan
selain hukum Allah. Hanya saja dia berhukum dengan selain hukum Allah semata
karena syahwat, jabatan, dan kepentingan pribadi, dalam keadaan yakin bahwa dirinya
salah dan sedang berbuat maksiat. Yang semacam ini termasuk kufur ashgar,
pelakunya tidak keluar dari Islam. Inilah yang ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas.
Inilah macam-macam thaghut di alam ini. Jika engkau
mengamatinya dan mengamati keadaan manusia, engkau akan lihat kebanyakan
manusia telah berpaling dari ibadah kepada Allah menuju ibadah kepada thaghut.
Mereka berpaling dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya menuju ketaatan kepada
thaghut dan mengikutinya. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq-Nya kepada kaum
muslimin untuk mengkufuri thaghut dan mentauhidkan Allah. Dan upaya terpenting
untuk mendapatkannya adalah dengan menyebarkan dakwah tauhid kepada umat ini. Wallahu
a’lam bish-shawab.
C
.Korelasi kedua ayat terhadap kehidupan
Menurut saya, kedua ayat ini saling berkaitan dalam kehidupan
kita sebagai umat islam, selain membahas tentang aqidah dan sempurnanya agama
islam, ayat 255 pada surat al baqarah ini juga merupakan salah satu ayat yang
mahsur dengan berbagai faidah nya bagi kita semua, salah satunya yaitu Disunahkan
untuk menjadikan bacaan Ayat Kursi Sebagai wirid yang dibaca saat pagi dan
sore, ketika hendak tidur dan dzikir setelah shalat fardhu, sebagaimana hadits
berikut: “Barangsiapa membacanya ketika pagi, akan selamat dari gangguan jin
sampai waktu sore. Dan siapa yang membacanya ketika sore, akan selamat dari
gangguan jin sampai waktu pagi”. (HR Hakim dengan sanad Jayid).
Kemudian di ayat 256 Allah telah menjelaskan kepada kita
semua, bahwa apa itu thagut dan hukum bagi orang-orang yang beriman kepada
thagut, selain itu ayat ini juga menjelaskan, bahwa tidak adanya paksaan kepada
siapapun untuk masuk islam, dan jelas-jelas sudah bahwa kegiatan terorisme yang
marak terjadi belakangan ini para pelakunya bukan lah orang-orang islam yang
lurus jalannya melainkan yang sesat, dan celakalah mereka.
Dalam kedua ayat ini juga menyiratkan tentang bagaimana kita
sebagai umat islam harus menjaga tauhid kita, dan berlaku toleransi terhadap
orang-orang selain islam yang tidak menyakiti maupun mengintimidasi kita.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, saya menyimpulkan penafsiran
terhadap surat al baqarah ayat 255-256, dalam penafsiran tentang aqidah
islamiyah adalah sebagai berikut :
v Ayat ini
memerintahkan kepada seluruh umat islam agar tetap menjaga dirinya dari
kesesatan kususnya adalah dala perihal aqidah islamiyah, sebab aqidah merupakan
dasar atau pondasi yang sangat urgen untuk kehidupan beribada kepada Allah swt.
v Mengimani thagut
merupakan dosa syirik, dan Allah akan mengampuni seluruh dosa selain dosa
syirik, maka dari itu setelah mengetahui uraian ayat ini maka selayaknya kita
harus lebih hati-hati lagi dalam bertindak agar tak terjerumus dalam syirik
yang diakibatkan oleh thagut.
B.
SARAN
Adapun saran dari saya yaitu,
Ø Kita sebagai muslim harus selektif untuk
menerima kajian tentang aqidah dan mampu mencari penjelasan yang konkret dari
al qur’an itu sendiri, dan apa bila belum mampu maka haruslah menanyakan
perihal tersebut kepada orang yang lebih faham
dan jelas ketaqwaannya kepada Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA
http://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2012/12/11/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-255-rahasia-ayat-kursi/
[Sumber: Tafsir al-Qur-an al-Karim, oleh Syaikh
Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin jilid 3, dan Tafsir as-Sa'di, oleh syaikh Abdur
Rahman bin Nashir as-Sa'di, semoga Allah merahmati keduanya. Diposting oleh
Sufiyani] http://alsofwah.or.id/?pilih=lihatquran&id=208
Al-Imam Abul Fida Isma’il
Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 3 Al-Baqarah s.d Ali-imran 91 :
Sinar Baru Algensindo.
http://www.almanhaj.or.id/content/1588/slash/0
http://www.asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar