Kamis, 24 Oktober 2013

Tafsir al baqarah ayat 255-256


               MAKALAH

                                                                                         
“TAFSIR Q.S AL –BAQARAH AYAT 255-256”
“TENTANG AQIDAH ISLAMIYAH”

(Makalah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir )
Dosen Pengampu : Dr.Adang Kuswaya, M.Ag.




Disusun Oleh : Rangga Pradikta – (215-13-006)







PROGDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2013


KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr,wb,.
Alhamdulillah, Segala puji bagi ALLAH SWT , yang dengan berkat pertolongan-Nya, kami penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tafsir Qur’an surat Al-baqarah Ayat 255-256”. Didalamnya terdapat pembahasan tentang aqidah.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas progdi ilmu Al Qur’an dan tafsir dalam materi tafsir di STAIN Salatiga, disamping itu juga sebagai pembelajaran bagi kami penulis untuk mengetahui semua aspek aspek yang berkaitan dengan tafsir Al Quran surah Al-baqarah ayat 255-256.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini masih sangant jauh dari sempurna, baik isi, susunan kalimat maupun sistematika pembahasannya. Untuk itu kritik, saran dan nasihat dosen pengampu serta para pembaca senantiasa kami harapkan demi kesepurnaan makalah kami ini,. tiada yang sempurna kecuali ALLAH SWT.
Namun upaya mencari kata sempurna setidaknya telah kami usahakan.Akhirnya segala kesalahan dan kekurangan adalah tanggung jawab kami sebagai penyusun.namun,apabila terdapat kebenaran dalam Makalah ini semata karena hanya ridho,tuntunan,dan petunjuk dari  ALLAH SWT  sang maha pencipta.
Wassalamualaikum wr,wb

                  
Salatiga, 24  September  2013


Penulis



BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG       
Dalam kehidupan sehari-hari kita telah sering mendengar kata aqidah atau pun tauhid, namun apakah kita semua sudah mengetahui arti dari kata aqidah itu sendiri, sehingga banyak orang-orang yang belum memahami arti sesungguhnya yang disampaikan oleh Allah melalui firman-Nya dan pada akhirnya terjerumus kepada penerapan aqidah yang salah.
Aqidah bisa diartikan juga sebagai keyakinan, yakni keyakinan yang mendalam tentang hakikat Allah sebagai Tuhan semesta alam serta agama islam merupakan agama yang rahmatan lil’alamin, yaitu agama yang diturunkan untuk mengatur kehidupan seluruh mahluk hidup.
Dan dari akidah yang kuat maka kita akan terhidar dari segala prasangka dan perbuatan yang dikategorikan sebagai Syirik(menyekutukan Allah). Kemudian dewasa ini islam dimata orang-orang non-islam dianggap sebagai agama yang kejam, ini semua dikarenakan adanya sekelompok orang yang disebut sebagai teroris, dalam melakukan aksi terorismenya mereka menggunakan dalil-dalil Al Qur’an dengan pemahaman yang sangat terbatas dan tanpa melalui ijtihad secara khusus tentang dalil yang mereka gunakan sebagai dasar acuan aksi mereka,sehingga menimbulkan konflik besar dimata dunia tentang apakah yang diajarkan oleh islam sebenarnya. Dan inipun erat kaitannya dengan aqidah, maka dari itu dalam surat al baqarah ayat 255-256, ALLAH SWT telah berfirman kepada Nabi Muhammad saw, tentang apa itu aqidah dan macam aqidah, serta menerangkan tentang sempurna nya agama islam untuk umat manusia dibanding dengan agama-agama yang Allah turunkan sebelumnya.
Surat Al baqarah ayat 255 disebut juga sebagai Ayat Kursi, penamaan ini bukan hasil ijtihad ulama, tetapi dari Rasulullah saw. sebagaimana dalam satu riwayat bahwa ketika Rasulullah saw. ditanya oleh salah seorang sahabatnya tentang “ayat apa yang paling agung dari kitabullah?” Beliau menjawab, “Ayat Kursi”, kemudian Rasulullah membaca ayat ini. (HR Ahmad dan Nasa’i).
Kemudian dalam surat Al baqarah ayat 256, Allah menjelaskan tentang kebenaran islam disisi-Nya dan sebagai agama yang Allah ridhai di dunia maupun akhirat dan dijelaskan pula apa arti thagut sesungguhnya. Dua ayat ini sangat menarik untuk dibahas, karena saling mendukung dalam arti dan penafsirannya, serta banyaknya faedah dari mempelajari kedua ayat ini khususnya untuk keyakinan kepada ALLAH SWT dan membuktikan kepada seluruh umat manusia, bahwa islam merupakan agama yang penuh dengan kasih sayang dan keteraturan serta kebenaran.


B. RUMUSAN MASALAH
v  Bagaimanakah penafsiran surat Al baqarah ayat 255-256
v  Dengan menguraikan :
A.      Muqaddimah dan bunyi serta terjemahan dari Q.S Al baqarah ayat 255-256
B.      Penafsiran terhadap Q.S Al baqarah ayat 255-256 tentang aqidah
C.      Korelasi antara kedua ayat dalam kehidupan

C. MAKSUD DAN TUJUAN
Mengetahui isi penafsiran Q.S Al baqarah ayat 255-256 tentang aqidah islamiyah


















BAB II
PEMBAHASAN
A.Muqaddimah dan bunyi serta terjemahan dari Q.S Al baqarah ayat 255-256

Muqaddimah
Surat Al Baqarah yang berisi 286 ayat  turun di Madinah yang sebahagian besar diturunkan pada permulaan tahun Hijrah, kecuali ayat 281 diturunkan di Mina pada Hajji wadaa' (hajji Nabi Muhammad s.a.w. yang terakhir). Seluruh ayat dari surat Al Baqarah termasuk golongan Madaniyyah, merupakan surat yang terpanjang di antara surat-surat Al Quran. Surat ini dinamai Al Baqarah karena di dalamnya disebutkan kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil (ayat 67 sampai dengan 74), dimana dijelaskan watak orang Yahudi pada umumnya. Dinamai Fusthaatul-Quran (puncak Al Quran) karena memuat beberapa hukum yang tidak disebutkan dalam surat yang lain. Dinamai juga surat alif-laam-miim karena surat ini dimulai dengan Alif-laam-miim.
Pokok-pokok isinya:
1. Keimanan:
Dakwah Islamiyah yang dihadapkan kepada umat Islam, ahli kitab dan para musyrikin ; tauhid.
2. Hukum-hukum:
Perintah mengerjakan shalat; menunaikan zakat; hukum puasa; hukum haji dan umrah; hukum qishash; hal-hal yang halal dan yang haram; bernafkah di jalan Allah; hukum arak dan judi; cara menyantuni anak yatim, larangan riba; hutang piutang; nafkah dan yang berhak menerimanya; wasiyat kepada dua orang ibu-bapa dan kaum kerabat; hukum sumpah; kewajiban menyampaikan amanat; sihir; hukum merusak mesjid; hukum meubah kitab-kitab Allah; hukum haidh, 'iddah, thalak, khulu', ilaa' dan hukum susuan; hukum melamar, mahar, larangan mengawini wanita musyrik dan sebaliknya; hukum perang.
3. Kisah-kisah:
Kisah penciptaan Nabi Adam a.s.; kisah Nabi Ibrahim a.s.; kisah Nabi Musa a.s. dengan Bani Israil.
4. Dan lain-lain:
Sifat-sifat orang yang bertakwa; sifat orang-orang munafik; sifat-sifat Allah; perumpamaan-perumpamaan; kiblat, kebangkitan sesudah mati.
Bunyi serta terjemahan surat Al baqrah ayat 255-256

اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَنَوْمُ لَّهُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَابَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al Baqarah:255)



لآَإِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(Al-Baqarah: 256).






B. Penafsiran terhadap surat al baqarah ayat 255-256 tentang aqidah
1. Ayat 255
Ayat Kursi termasuk dari ayat Al-Quran yang hanya Allah turunkan kepada Nabi Muhammad dan tidak Dia turunkan kepada selainnya, hal ini sebagaimana atsar yang disampaikan Ali dari Abu Ubaid: “Ayat Kursi diberikan kepada Nabimu dari tempat penyimpanan yang berada di bawah Arsy, dan tidak diberikan kepada seorang pun sebelumnya”.
Ayat ini mashur dengan nama Ayat Kursi, penamaan ini bukan hasil ijtihad ulama, tetapi dari Rasulullah saw. sebagaimana dalam satu riwayat bahwa ketika Rasulullah saw. ditanya oleh salah seorang sahabatnya tentang “ayat apa yang paling agung dari kitabullah?” Beliau menjawab, “Ayat Kursi”, kemudian Rasulullah membaca ayat ini. (HR Ahmad dan Nasa’i)
Ayat Kursi sangat kental dengan nuansa aqidah karena di dalamnya terdapat penetapan tiga macam tauhid yaitu tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat. Di awal ayat terdapat penetapan tauhid uluhiyah (اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ), kemudian Allah menyebutkan tauhid asma wa shifat dalam firman-Nya (الْحَيُّ الْقَيُّومُ), dan firman-Nya
 (لَّهُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ) merupakan penetapan rububiyah Allah. Ayat ini mengandung pelajaran penting tentang syafaat, bahwa syafaat adalah milik Allah dan hanya boleh meminta syafaat kepada Allah semata, sebagaimana firman-Nya
 (مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ) .
Dalam ayat ini juga terkandung penetapan atas sempurnanya ilmu Allah dalam ayat
(يَعْلَمُ مَابَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ). Tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari ilmu Allah. (Tashil li Takwilit Tanzil oleh Musthafa Al Adawi 3: 454).

Pengertian Tuhid uluhiyah,tauhid asma wa sifhat,dan tauhid rububiyah.
Pengertian Tauhid
Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja.Syaikh Ibnu Sholeh Al Utsaimin berkata :  “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul).Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya(Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul).Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa sesungguh banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi mereka menyembah Malaikat, menyembah para Nabi, menyembah orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.




Tauhid Uluhiyah
Menurut Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Artinya, mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila hal itu disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), isthighotsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karena-Nya. Dan tidak boleh ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah.
Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apapun. Bila ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya jatuh kepada Syirkun Akbar (syirik yang besar) dan tidak diampuni dosanya.[Lihat An-Nisaa: 48, 116] [1] Al-Ilah artinya al-Ma’luh, yaitu sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:“Dan Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada sesembahan yang haq melainkan Dia. Yang Mahapemurah lagi Maha-penyayang”[Al-Baqarah:163]
Berkata Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah.(wafat th. 1376H): “Bahwasanya Allah itu tunggal Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat dan perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang mencipta dan mengatur alam semesta ini kecuali hanya Allah. Apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi. Tidak boleh Dia disekutukan dengan seorang pun dari makhluk-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.“Allah menyatakan bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar selain Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada yang berhak disembah dengan benar selain-Nya, Yang Maha-perkasa lagi Mahabijaksana”[Ali ‘Imran: 18]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengenai Lata, Uzza dan Manat yang disebut sebagai tuhan, namun tidak diberi hak Uluhiyah:
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapakmu mengada-adakannya, Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya…”[An-Najm:23]
Setiap sesuatu yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bathil, dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla.“(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang bathil, dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar” [Al-Hajj: 62]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang Nabi Yusuf 'alaihis Sallam yang berkatakepada kedua temannya di penjara: “Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah selain Allah, kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu…”[Yusuf: 39-40]
Oleh karena itu para Rasul ‘Alaihimus Salam berkata kepada kaumnya agar beribadah hanya kepada Allah saja[3]“Sembahlah Allah olehmu sekalian, sekali-kali tidak ada sesembahan yang haq selain daripada-Nya. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)” [ Al-Mukminuun: 32]
Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan itu dengan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dua bukti.
Pertama.
Tuhan-tuhan yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan Uluhiyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat menarik kemanfaatan, tidak dapat menolak bahaya, tidak dapat menghidupkan dan mematikan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” [Al-Fur-qaan:3]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Katakanlah: ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit. Dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.’ Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat..”[Saba’: 22-23]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tidak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” [Al-A’raaf:191-192]
Apabila keadaan tuhan-tuhan itu demikian, maka sungguh sangat bodoh, bathil dan zhalim apabila menjadikan mereka sebagai ilah dan tempat meminta pertolongan.

Kedua:
Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya Rabb, Pencipta, yang di tangan-Nya kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dia-lah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi-Nya.Ini mengharuskan pengesaan Uluhiyyah (penghambaan), seperti mereka mengesakan Rububiyah (ketuhanan) Allah. Tauhid Rububiyah mengharuskan adanya konsekuensi untuk melaksanakan Tauhid Uluhiyah (beribadah hanya kepada Allah saja). “Hai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui”[Al-Baqarah: 21-22]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]

Foote Note
[1]. Disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Atha’, Ikrimah, asy-Sya’bi, Qatadah dan lainnya. Lihat Fathul Majiid Syarh Kitabit Tauhiid (hal. 39-40) tahqiq Dr. Walid bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Furaiyan.
[2]. Lihat Min Ushuuli ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah dan Aqidatut Tauhiid (hal. 36) oleh Dr. Shalih al-Fauzan, Fathul Majiid Syarah Kitabut Tauhiid dan al-Ushuul ats-Tsalaatsah (Tiga Landasan Utama).
[3]. Lihat Taisirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 63, cet. Mak-tabah al-Ma’arif , 1420 H). http://www.almanhaj.or.id/content/1587/slash/0

Tauhid Rububiyah
Menurut Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan.

Tauhid adalah meyakini keesaan Allah dalam Rububiyah, ikhlas beribadah kepadaNya, serta menetapkan bagiNya Nama-nama dan Sifat-sifatNya. Makna tauhid rububiyah yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala perbuatanNya, dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan segenap makhluk. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:“Allah menciptakan segala sesuatu …” [Az-Zumar: 62]

Bahwasanya Dia adalah Pemberi rizki bagi setiap manusia, binatang dan makhluk lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, …” [Hud : 6]

Dan bahwasanya Dia adalah Penguasa alam dan Pengatur semesta, Dia yang mengangkat dan menurunkan, Dia yang memuliakan dan menghinakan, Mahakuasa atas segala sesuatu. Pengatur rotasi siang dan malam, Yang menghidupkan dan Yang mematikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” [Ali Imran: 26-27]

Allah telah menafikan sekutu atau pembantu dalam kekuasaan-Nya. Sebagaimana Dia menafikan adanya sekutu dalam penciptaan dan pemberian rizki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah …” [Luqman: 11]

“Atau siapakah dia ini yang memberi kamu rizki jika Allah menahan rizkiNya?” [Al-Mulk: 21].
Allah menyatakan pula tentang keesaanNya dalam rububiyah-Nya atas segala alam semesta. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” [Al-Fatihah: 2]
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakanNya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintahNya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam.” [Al-A'raf: 54]

Allah menciptakan semua makhlukNya di atas fitrah pengakuan terhadap rububiyah-Nya. Bahkan orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah dalam ibadah juga mengakui keesaan rububiyah-Nya.
“Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya `Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tanganNya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” [Al-Mu'minun: 86-89]

Jadi, jenis tauhid ini diakui semua orang. Tidak ada umat mana pun yang menyangkalnya. Bahkan hati manusia sudah difitrahkan untuk mengakuiNya, melebihi fitrah pengakuan terhadap yang lain-Nya. Sebagaimana perkataan para rasul yang difirmankan Allah:
“Berkata rasul-rasul mereka: “Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” [Ibrahim: 10]

Adapun orang yang paling dikenal pengingkarannya adalah Fir’aun. Namun demikian di hatinya masih tetap meyakiniNya. Sebagaimana perkataan Musa alaihis salam kepadanya:
“Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mu`jizat-mu`jizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata: dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir`aun, seorang yang akan binasa”. [Al-Isra': 102]

Ia juga menceritakan tentang Fir’aun dan kaumnya:
“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya.” [An-Naml: 14]

Begitu pula orang-orang yang mengingkarinya di zaman ini, seperti komunis. Mereka hanya menampakkan keingkaran karena ke-sombongannya. Akan tetapi pada hakikatnya, secara diam-diam batin mereka meyakini bahwa tidak ada satu makhluk pun yang ada tanpa Pencipta, dan tidak ada satu benda pun kecuali ada yang membuatnya, dan tidak ada pengaruh apa pun kecuali pasti ada yang mempengaruhinya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).”[Ath-Thur: 35-36]

Perhatikanlah alam semesta ini, baik yang di atas maupun yang di bawah dengan segala bagian-bagiannya, anda pasti mendapati semua itu menunjukkan kepada Pembuat, Pencipta dan Pemiliknya. Maka mengingkari dalam akal dan hati terhadap pencipta semua itu, sama halnya mengingkari ilmu itu sendiri dan mencampakkannya, keduanya tidak berbeda.

Adapun pengingkaran adanya Tuhan oleh orang-orang komunis saat ini hanyalah karena kesombongan dan penolakan terhadap hasil renungan dan pemikiran akal sehat. Siapa yang seperti ini sifatnya maka dia telah membuang akalnya dan mengajak orang lain untuk menertawakan dirinya.

[Disalin dari kitab At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-Ali, Edisi Indonesia Kitab Tauhid 1, Penulis Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan, Penerjemah Agus Hasan Bashori Lc, Penerbit Darul Haq]http://www.almanhaj.or.id/content/1978/slash/0]


Tauhid Al-Asma’ Wash-Shifat
Menurut Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tetapkan atas diri-Nya, baik itu dengan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Kita wajib menetapkan Sifat Allah sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak boleh dita'wil.

Al-Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, al-Auza’iy, al-Laits bin Sa’ad dan Sufyan ats-Tsaury tentang berita yang datang mengenai Sifat-Sifat Allah, mereka semua menjawab:
“Perlakukanlah (ayat-ayat tentang Sifat Allah) sebagaimana datangnya dan janganlah kamu persoalkan (jangan kamu tanya tentang bagaimana sifat itu).”[1]

Imam Asy-Syafi’ Rahimahullah berkata:
“Aku beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang datang dari Allah sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada apa-apa yang datang dari beliau, sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah"[2]

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah: “Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus Sunnah mereka mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat dengan menetapkan apa-apa yang Allah telah tetapkan atas diri-Nya dan telah ditetapkan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam untuk-Nya, tanpa tahrif[3] dan ta’thil[4] serta tanpa takyif[5] dan tamtsil[6]. Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya”

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Mahamendengar lagi Mahamelihat" [Asy-Syuura':11]

Lafazh ayat : “Tidak ada yang serupa dengan-Nya” merupakan bantahan kepada golongan yang menyamakan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.
Sedangkan lafazh ayat : “Dan Dia Mahamendengar lagi Mahamelihat” adalah bantahan kepada orang-orang yang menafikan/mengingkari Sifat-Sifat Allah.

‘Itiqad Ahlus Sunnah dalam masalah Sifat Allah Subhanhu wa Ta’ala didasari atas dua prinsip:

Pertama.
Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib disucikan dari semua sifat-sifat kurang secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati, dan lainnya.

Kedua.
Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai Sifat-Sifat Allah.[7]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menolak sifat-sifat yang disebutkan Allah untuk Diri-Nya, tidak menyelewengkan kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kedudukan yang semestinya, tidak mengingkari tentang Asma’ (Nama-Nama) dan ayat-ayatNya, tidak menanyakan tentang bagaimana Sifat Allah, serta tidak pula mempersamakan Sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa Allah Azza wa Jalla tidak sama dengan sesuatu apapun juga. Hal itu karena tidak ada yang serupa, setara dan tidak ada yang sebanding dengan-Nya Azza wa Jalla, serta Allah tidak dapat diqiaskan dengan makhluk-Nya.
Yang demikian itu dikarenakan hanya Allah Azza wa Jalla sajalah yang lebih tahu akan Diri-Nya dan selain Diri-Nya. Dialah yang lebih benar firman-Nya, dan lebih baik Kalam-Nya daripada seluruh makhluk-Nya, kemudian para Rasul-Nya adalah orang-orang yang benar, jujur, dan juga yang dibenarkan sabdanya. Berbeda dengan orang-orang yang mengatakan terhadap Allah Azza wa Jalla apa yang tidak mereka ketahui, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Mahasuci Rabb-mu, yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul, dan segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam."[Ash-Shaffat: 180-182]

Allah Jalla Jalaluhu dalam ayat ini mensucikan diri-Nya, dari apa yang disifatkan untuk-Nya oleh penentang-penentang para Rasul-Nya. Kemudian Allah Azza wa jalla melimpahkan salam sejahtera kepada para Rasul, karena bersihnya perkataan mereka dari hal-hal yang mengurangi dan menodai keagungan Sifat Allah.[8]
Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam menuturkan Sifat dan Asma’Nya, memadukan antara an-Nafyu wal Itsbat (menolak dan menetapkan)[9] Maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak menyimpang dari ajaran yang dibawa oleh para Rasul, karena itu adalah jalan yang lurus (ash-Shiraathal Mustaqiim), jalan orang-orang yang Allah karuniai nikmat, yaitu jalannya para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin[10]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar al-Khallal dalam Kitabus Sunnah, al-Laalikai (no. 930). Lihat Fatwa Hamawiyah Kubra (hal. 303, cet. I, 1419 H) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Hamd bin Abdil Muhsin at-Tuwaijiry, Mukhtashar al-Uluw lil Aliyil Ghaffar (hal. 142 no. 134). Sanadnya shahih.
[2]. Lihat Lum¡’atul I’tiqaad oleh Imam Ibnul Qudamah al-Maqdisy, syarah oleh Syaikh Muhammad Shalih bin al-Utsaimin (hal. 36).
[3]. Tahrif atau ta’wil yaitu merubah lafazh Nama dan Sifat, atau merubah maknanya, atau menyelewengkan dari makna yang sebenarnya.
[4]. Ta’thil yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah atau mengingkari seluruh atau sebagian Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Perbedaan antara tahrif dan ta’thil ialah, bahwa ta’thil itu mengingkari atau menafikan makna yang sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash dari al-Qur’an atau hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan tahrif ialah, merubah lafazh atau makna, dari makna yang sebenarnya yang terkandung dalam nash tersebut.
[5]. Takyif yaitu menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau mempertanyakan: “Bagaimana Sifat Allah itu?”. Atau menentukan bahwa Sifat Allah itu hakekatnya begini, seperti menanyakan: “Bagaimana Allah bersemayam?” Dan yang sepertinya, karena berbicara tentang sifat sama juga berbicara tentang dzat. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla mempunyai Dzat yang kita tidak mengetahui kaifiyatnya. Dan hanya Allah Azza wa Jalla yang mengetahui dan kita wajib mengimani tentang hakikat maknanya.
[6]. Tamtsil sama dengan Tasybih, yaitu mempersamakan atau menyerupakan Sifat Allah Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya. Lihat Syarah Aqidah al-Wasithiyah (I/86-100) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Aqidah al-Wasithiyah (hal 66-69) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras, Tahqiq Alawiy as-Saqqaf, at-Tanbiihat al-Lathifah ala Mahtawat alaihil Aqidah al-Wasithiyah (hal 15-18) oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, tahqiq Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, al-Kawaasyif al-Jaliyyah an Ma’anil Wasithiyah oleh Syaikh Abdul Aziz as-Salman.
[7]. Lihat Minhajus Sunnah (II/111, 523), tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim.
[8]. Lihat at-Tanbiihaat al-Lathiifah hal. 15-16.
[9]. Maksudnya, Allah memadukan kedua hal ini ketika menjelaskan Sifat-Sifat-Nya dalam al-Qur-an. Tidak hanya menggunakan Nafyu saja atau Itsbat saja.
Nafyu (penolakan) dalam al-Qur’an secara garis besarnya menolak adanya kesamaan atau keserupaan antara Allah dengan makhluk-Nya, baik dalam Dzat maupun sifat, serta menolak adanya sifat tercela dan tidak sempurna bagi Allah. Dan nafyu bukanlah semata-mata menolak, tetapi penolakan yang di dalamnya terkandung suatu penetapan sifat kesempurnaan bagi Allah, misalnya disebutkan dalam al-Qur’an bahwa Allah tidak mengantuk dan tidak tidur, maka ini menunjukkan sifat hidup yang sempurna bagi Allah.
Itsbat (penetapan), yaitu menetapkan Sifat Allah yang mujmal (global), seperti pujian dan kesempurnaan yang mutlak bagi Allah dan juga menetapkan Sifat-Sifat Allah yang rinci seperti ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, hikmah-Nya, rahmat-Nya dan yang seperti itu. (Lihat Syarh al-Aqiidah al-Wasithiyyah oleh Khalil Hirras, tahqiq Alwiy as-Saqqaf, hal. 76-78).
[10]. Lihat QS. An-Nisaa¡’ 69 dan at-Tanbiihaat al-Lathiifah hal. 19-20.

Surat al baqarah ayat 255 juga mengandung sepuluh kalimat yang menyendiri:
Firman Allah swt:
اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ
 “Allah, Tidak ada tuhan melainkan Dia”.
Pemberitahuan yang menyatakan bahwa Dialah Tuhan Yang Maha Esa bagi semua mahluk.
الْحَيُّ الْقَيُّومُ
“Yang Hidup kekal terus menerus mengurus (mahluk-Nya)”.
Yakni Dia adalah Zat Yang Hidup kekal, tidak mati selama-lamanya,lagi terus-menerus mengurus selain-Nya. Sahabat Umar membacanya aiyamun dengan pengertian bahwa semua makhluk berhajat kepada-Nya, sedangkan Dia Mahakaya dari semua makhluk. Dengan kata lain, segala sesuatu tidak akan berujud tanpa perintah dari-Nya.
لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَنَوْمُ
“Tidak mengantuk dan tidak tidur”
Artinya, Dia tidak pernah terkena kekurangan, tidak lupa, tidak pula lalai terhadap makhluk-Nya. Bahkan Dia mengurus semua jiwa berikut amal perbuatannya, lagi menyaksikan segala sesuatu. Tiada sesuatu pun yang gaib (tidak diketahui) oleh-Nya, tiada suatu perkara yang samar pun yang tidak diketahui-Nya. Di antara kesempurnaan sifat Qayyum-Hyai ialah Dia tidak pernah mengantuk dan tidak pernah pula tidur. Lafaz la ta-khuzuhu artinya tidak pernah terkena; sinatun, artinya mengantuk, yaitu pendahuluan dari tidur. Wala naum, dan tidak pula tidur, lafaz ini disebutkan karena pengertiannya lebih kuat dari pada yang pertama.

لَّهُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ
“kepunyaan-Nya apa yang dilangit dan dibumi”
Ayat ini memberitakan bahwa semuanya adalah hamba-hamba-Nya, berada dalam kekuasaan-Nya dan di bawah pengaturan dan pemerintahan-Nya.

مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak ada seorang pun yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya melainkan dengan seizin-Nya.”
يَعْلَمُ مَابَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ
“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.”
Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa pengetahuan Allah meliputi semua yang ada, baik masa lalu, masa sekarang, maupun masa depannya.
وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ
“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”
Yakni tidak ada seorang pun yang mengetahui sesuatu dari ilmu Allah kecuali sebatas apa yang Allah beri tahukan kepadanya dan apa yang diperlihatkan kepadanya. Akan tetapi, makna ayat ini dapat ditafsirkan bahwa makna yang dimaksud ialah mereka tidak dapat mengetahui sesuatu pun mengenai pengetahuan tentang Zat dan sifat-sifat-Nya melainkan hanya sebatas apa yang diperlihatkan oleh Allah kepadanya.
 وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْض
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, dari Mutarrif, dari Tarif, dari Ja'far ibnu Abui Mugirah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini. Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan 'Kursi-Nya' ialah ilmu- Nya. Hal yang sama telah diriwayatkan Ibnu Jarir melalui hadis Abdullah ibnu Idris dan Hasyim, keduanya dari Mutarrif ibnu Tarif dengan lafaz yang sama. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair hal yang semisal. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, "Yang dimaksud dengan Kursi ialah tempat kedua telapak kaki (kekuasaan-Nya)." Kemudian ia meriwayatkannya dari Abu Musa, As-Saddi, Ad-Dahhak, dan Muslim Al-Batin.
وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا
“Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya.”
Maksudnya, tidak memberatkan-Nya dan tidak mengganggu-Nya sama sekali memelihara langit dan bumi serta semua makhluk yang ada pada keduanya, bahkan hal tersebut mudah dan sangat ringanbagi-Nya. Dialah yang mengatur semua jiwa beserta semua apa yang diperbuatnya, Dialah yang mengawasi segala sesuatu. Tidak ada sesuatu pun yang terhalang dari-Nya, dan dada sesuatu pun yang gaib bagi-Nya. Segala sesuatu seluruhnya hina di hadapan-Nya dalam keadaan tunduk dan patuh bila dibandingkan dengan-Nya, lagi berhajat kepada-Nya, sedangkan Dia Mahakaya lagi Maha Terpuji, Maha melakukan semua yang dikehendaki-Nya, tidak dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang dilakukan-Nya, sedangkan mereka dimintai pertanggungjawaban. Dia Maha menang atas segala sesuatu, Maha Menghitung atas segala sesuatu, Maha Mengawasi (Waspada), Mahaagung. Tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia.
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيم
“Dan Allah Mahatinggi lagi Maha besar.

2. Ayat 256
Ayat ini menerangkan tentang kesempurnaan ajaran Islam, dan bahwasanya karena kesempurnaan bukti-buktinya, kejelasan ayat-ayat dan keadaannya merupakan ajaran akal dan ilmu, ajaran fitrah dan hikmah, ajaran kebaikan dan perbaikan, ajaran kebenaran dan jalan yang lurus, maka karena kesempurnaannya dan penerimaan fitrah terhadapnya, maka Islam tidak memerlukan pemaksaan, karena pemaksaan itu terjadi pada suatu perkara yang dijauhi oleh hati, tidak memiliki hakikat dan kebenaran, atau ketika bukti-bukti dan ayat-ayatnya tidak ada, maka barangsiapa yang telah mengetahui ajaran ini dan dia menolaknya maka hal itu di dasari karena kedurhakaannya, karena ( قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ) “sesung-guhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” hingga tidak ada suatu alasan pun bagi seseorang dan tidak pula hujjah apabila dia menolak dan tidak menerimanya.
Tidak ada perselisihan antara pengertian ayat ini dengan ayat-ayat lainnya yang mengharuskan berjihad, karena Allah telah memerintahkan untuk berperang agar agama Allah semuanya hanya milik Allah, dan demi memberantas kesewenang-wenangan orang-orang yang melampaui batas terhadap agama, maka kaum muslimin telah berijma’ bahwa jihad itu telah ditetapkan bagi orang yang baik maupun orang yang jahat, dan bahwasanya jihad itu di antara kewajiban-kewajiban yang berkesinambungan baik jihad perkataan maupun jihad perbuatan, dan siapa saja di antara ahli tafsir yang berpendapat bahwa ayat ini meniadakan ayat-ayat jihad hingga mereka menyatakan dengan tegas bahwa ayat-ayat jihad itu telah dihapus, maka pendapat mereka itu lemah secara lafazh maupun makna, sebagaimana hal itu jelas sekali bagi orang-orang yang merenungkan ayat yang mulia ini, sebagaimana juga telah kami jelaskan sebelumnya.
Kemudian Allah ta’ala menyebutkan pembagian manusia kepada dua bagian; pertama, manusia yang beriman kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagiNya dan kafir kepada thagut yaitu segala hal yang meniadakan keimanan kepada Allah dari kesyirikan dan selainnya maka orang ini telah, ( اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى ) “telah ber-pegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus” yang tidak ada putusnya, bahkan tali itu lurus di atas ajaran yang benar hingga sampai kepada Allah dan negeri kemuliaanNya, kedua dapat diambil dari pemahaman terbalik ayat ini yaitu bahwa barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah bahkan dia kafir kepadaNya dan beriman kepada thagut, maka dia akan binasa dengan kebinasaan yang abadi dan disiksa dengan siksaan yang selamanya.
Dan firmanNya, ( وَاللهُ سَمِيعٌ ) “Dan Allah Maha Mendengar” yaitu kepada segala suara dengan segala macam perbedaan bahasanya menurut segala bentuk kebutuhannya, dan juga Maha Mendengar akan doa orang-orang yang bermunajat dan ketundukan orang-orang yang merendahkann diri (kepadaNya) ( عَلِيمٌ ) “lagi Maha Mengetahui” segala yang disembunyikan oleh hati, dan segala perkara yang tersembunyi dan tidak nampak, hingga Dia membalas setiap orang sesuai dengan apa yang diperbuatnya dari niat maupun amalannya.
Pelajaran yang bisa diambil dari ayat ini di antaranya adalah :
1. Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk agama Islam, karena telah jelas yang mana petunjuk dan yang mana kesesatan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman
 (لآَإِكْرَاهَ فِي الدِّين) tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Dan dari firman Allah ini juga menjelaskan bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk memaksa seseorang memeluk agama islam. as-Sunnah telah menjelaskan tentang cara bermuamalah dengan orang-orang kafir, yaitu dengan medakwahkan Islam kepada mereka, jika mereka enggan maka wajib atas mereka untuk membayar jiziyah, dan jika mereka tidak mau kita perangi mereka.
2. Sesungguhnya hanya ada dua pilihan yaitu petunjuk atau kesesatan, karena jika kalau ada yang ketiga maka AllahTa’ala akan menyebutkannya, karena kedudukannya di sini adalah pembatasan, dan yang manunjukan hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala
 (فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ ) Tidak ada setelah kebenaran kecuali kebatilan (Yunus: 32), dan firman Allah Ta’ala: (وَإِنَّآ أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ) dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada di dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata.(Saba’:24)
3. Sesungguhnya tidak akan sempurna keikhlasan seseorang kepada Allah kecuali dengan menolak semua bentuk kesyirikan, ini di dasarkan pada firman Allah Ta’ala:
 (فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ) Barangsiapa yang kafir kepada thagut dan beriman kepada Allah. barangsiapa yang beriman kepada Allah dan tidak kafir dan mengingkari thagut maka ia bukan orang yang beriman.
4. Bahwasanya setiap sesuatu yang disembah selain Allah adalah thogut. Ini di dasarkan pada firman Allah Ta’ala: (فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ) Barangsiapa yang kafir kepada thagut dan beriman kepada Allah.
5. Bahwasanya keselamatan dunia dan akhirat hanya dengan kafir dan mengingkari thogut dan beriman kepada AllahTa’ala, ini di dasari firman Allah Ta’ala
 (فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى): Sungguh dia telah berpegang dengan buhul tali yang amat kuat.
6. Sesungguhnya amal perbuatan bertingkat-tingkat, ini di tunjukan dari kata yang menandakan adanya tingkatan tersebut (الْوُثْقَى): Yang sangat kuat, adanya keutamaan pada sesuatu menghendaki adanya sesuatu yang lebih utama dan adanya sesuatu yang lebih rendah keutamaan darinya. Tidak diragukan lagi bahwasanya amal perbuatan itu bertingkat-tingkat keutamaannya, yang mana ini semua ditunjukan oleh nash-nash al-Qur–an dan as-Sunnah, seperti firman Allah Ta’ala (لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً): Untuk dia menguji kalian, siapakah diantara kalian yang lebih baik amal perbuatannya. (al-Mulk: 2). Dan ( حْسَنُ): Lebih baik adalah kata yang menunjukan tingkatan. Ini menunjukan adanya tingkatan keutamaan amal di dalam kebaikan atau kebagusannya. Dan (dalam sebuah hadist Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam ditanya
(أي العمل أحب إلى الله قال: الصلاة على وقتها): Amal apa yang paling Allah cintai, beliau menjawab: Sholat pada waktunya. Dan di dalam sebuah hadist al-Qudsi Allah Subhanahu wata’ala berfirman : (مَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ): Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih aku cintai kecuali dari apa yang telah aku wajibkan kepadanya (HR. Bukhari: 6502). Adanya tingkatan amal perbuatan mengharuskan adanya tingkatan orang yang beramal tersebut. Semakin utama amal perbuatan yang dilakukan seseorang maka semakin utama dan mulia orang tersebut.
Tingkatan amal perbuatan itu di pengaruhi oleh beberapa hal:
a. Pelaku, ini didasarkan kepada sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam :
(لا تصب أصحابي فوالذي نفسي بيده لو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا ما أدرك مد أحد ولا نصيفه)
“janganlah kalian mecela para sahabatku, demi Dzat yang jiwaku ada di tangannya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakan emas sebesar gunung Uhud berupa emas, maka infak tersebut tidak menyamai satu genggaman harta yang mereka infakan dsan bahkan tidak sampai setengah genggaman.” (HR.Bukhari dan Muslim).
b. Amal perbuatan atau jenis amal tersebut, seperti sholat lebih utama daripada zakat, zakat lebih utama dari pada puasa, ini berdasarkan amal. Adapun berdasarkan jenis amal tersebut, maka semua jenis amalan fardhu(wajib) lebih utama daripada amalan sunnah. Misalnya sholat subuh lebih mulia daripada sholat sunnah sebelum subuh.
c. Waktu, ini di dasari dari hadis Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam:
عن ابن عباس ان النبي (صلوات ربي وسلامه عليه) قال (( ما من ايام العمل الصالح احب الى الله عز وجل من هذه الايام )) (( يعني ايام العشر )) قالوا : يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله ؟ قال : (( ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله ثم لم يرجع بشئ من ذلك ))
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada hari-hari di mana amal shalih lebih di cintai oleh Allah ‘azza wa jalla dari hari ini (yaitu sepuluh hari bulan asy-syura) para shohabat bertanya: Wahai Rasulullah apakah tidak juga jihad di jalan Allah?, Rasulullah menjawab walau jihad di jalan Allah, kecuali seorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu darinya. (HR. Bukhori: 926)
d.Tempat, ini di dasari dari sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam:
صلاة في مسجدي هذا خيرمن ألف صلاة فيما سواه إلا المسجد الحرام))
Satu sholat di masjidku ini lebih baik daripada seribu sholat di mesjit lain kecuali, di mesjidil haram. (HR. Bukhori: 92)
e. Cara melakukan, artinya bahwa tata cara beribadah lebih utama daripada tatacara yang lain. Seperti kekhusu’an didalam sholat, Allah berfirman:
(قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ {1} الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ {2})
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, (QS. Al-Mukminun: 1-2)

f. Kesesusaian dengan contoh Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, ini berlandaskan dengan firman Allah Ta’ala:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ
Katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi.(QS. Al-Imron: 31)
Semakin seseorang mencontoh Rasulullah dalam beramal, maka semakin utama amal yang ia lakukan.
g. Keikhlasan, seseorang yang ikhlas dalam melakukan amal maka lebih utama daripada seseorang yang beramal di barengi kesyirikan (seperti riya).
h. Kondisi, seperti seseorang yang selalu lalai dan enggan dalam beribadah dengan seseorang yang selalu melaksanakan ketaatan, tentu amal yang dilakukan oleh seseorang yang selalu melaksanakan ketaatan lebih utama.
7. Penetapan dua nama yang terkandung di dalam ayat ini, yaitu (سَمِيعٌ عَلِيمٌ): Maha mendengar, dan maha mengetahui.
[Sumber: Diringkas dan diterjemahkan dari tafsir al-Qur-an al-Karim ,karya syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin jilid 3, dan Tafsir as-Sa'di karya syaikh Abdurrohman bin Nashir as Sa'di, semoga Alloh merahmati keduanya. Diposting oleh sufiyani]
Pengertian Thaghut
Secara bahasa, kata ini diambil dari kata طَغَى, artinya melampaui batas. Allah berfirman:
إِنَّا لَمـَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ
“Sesungguhnya ketika air melampaui batas, Kami bawa kalian di perahu.” (Al-Haqah:11)
Adapun menurut istilah syariat, definisi yang terbaik adalah yang disebutkan Ibnul Qayyim: “(Thaghut) adalah setiap sesuatu yang melampui batasannya, baik yang disembah (selain Allah), atau diikuti atau ditaati (jika dia ridha diperlakukan demikian).” Ibnul Qayyim berkata: “Jika engkau perhatikan thaghut-thaghut di alam ini, tidak akan keluar dari tiga jenis golongan tersebut.” Definisi lain, thaghut adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah (dalam keadaan dia rela).
Wajibnya Mengingkari Thaghut
Allah mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya untuk mengkufuri thaghut dan beriman kepada Allah. Dasarnya adalah:
1. Allah mengutus Rasul-Nya untuk mendakwahkan masalah ini.
Allah berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوت
”Dan telah kami utus pada setiap umat seorang Rasul, (yang menyeru umatnya):Beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah oleh kalian thaghut.” (An-Nahl: 36)
2. Kufur kepada thaghut merupakan syarat sah iman, sehingga tidak sah iman seseorang hingga mengingkari thaghut. Allah berfirman:
 فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْق
”Barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka dia telah berpegang dengan tali yang kokoh.” (Al-Baqarah: 256)
3. Karena ini terkandung dalam lafadz Laa ilaha illallah. Ilallah adalah iman kepada Allah dan kufur kepada thaghut. Laa ilaha menafikan semua peribatan kepada selain Allah. Laa ilaha illallah menetapkan ibadah hanya untuk Allah.
Bentuk Pengingkaran terhadap Thaghut
Para ulama menerangkan bahwa mengkufuri thaghut terwujud dengan enam perkara yang ditunjukkan oleh Al-Qur`an:
1. Meyakini batilnya peribadatan kepada selain Allah.
2. Meninggalkannya dan meninggalkan peribadahan kepada selain Allah dengan hati, lisan, dan anggota badan.
3. Membencinya dengan hati dan mencercanya dengan lisan. Cercaan dengan lisan yaitu dengan cara menunjukkan dan menerangkan bahwa sesembahan selain Allah adalah batil dan tidak bisa memberikan manfaat.
4. Mengkafirkan pengikut dan penyembah thaghut.
5. Memusuhi mereka dengan dzahir dan batin, dengan hati dan anggota badan.
6. Menghilangkan sesembahan-sesembahan selain Allah dengan tangan, jika ada kemampuan.
Keenam perkara ini telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan kita diperintahkan untuk meneladani beliau. Allah berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
”Telah ada bagi kalian teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya.” (Al-Mumtahanah: 4)

Nabi Ibrahim meyakini batilnya peribadahan kepada selain Allah. Allah berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ إِبْرَاهِيمَ. إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا تَعْبُدُونَ. قَالُوا نَعْبُدُ أَصْنَامًا فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ. قَالَ هَلْ يَسْمَعُونَكُمْ إِذْ تَدْعُونَ. أَوْ يَنْفَعُونَكُمْ أَوْ يَضُرُّونَ
“Bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada bapak dan kaumnya: ‘Apakah yang kalian sembah?’ Mereka berkata: ‘Kami menyembah patung dan kami akan terus mengibadahinya.’ Maka Ibrahim berkata: ‘Apakah (patung-patung tersebut) mendengar ketika kalian berdoa? Apakah dia bisa memberikan manfaat atau menimpakan mudarat?’.” (Asy-Syua’ara`: 69-73)
Nabi Ibrahim meyakini batilnya sesembahan mereka, bahwa sesembahan mereka tidak bisa memberikan manfaat atau menimpakan mudarat. Beliau meninggalkan serta menjauhi sesembahan mereka kemudian hijrah kepada Allah. Allah berfirman:
وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِين
“(Ibrahim) berkata: ‘Aku akan pergi kepada Rabbku, dan Dia akan memberikan hidayah kepadaku’.” (Ash-Shaffat: 99)
Allah berfirman tentang Ibrahim:
إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ. إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ
“Aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah, kecuali Dzat yang telah menciptakanku karena sungguh Dia akan memberikan hidayah kepadaku.” (Az-Zukhruf: 26-27)
Allah juga berfirman tentang Ibrahim:
وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللهِ وَأَدْعُو رَبِّي
“Aku akan menjauhi kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Rabbku.” (Maryam: 48)

Nabi Ibrahim membenci sesembahan mereka dengan hatinya dan menjelekkannya dengan lisan, sebagaimana Allah kabarkan bahwa Ibrahim berkata:
أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ
”Celakalah kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah.” (Al-Anbiya`: 67)
Nabi Ibrahim mengingkari mereka dan mengabarkan bahwa mereka adalah kafir serta mengumumkan bahwa ia berlepas diri dari mereka, sebagaimana Allah kabarkan dalam



surat Al-Mumtahanah:
كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ
“Kami ingkar terhadap kalian, dan telah tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian, hingga kalian beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah: 4)
Nabi Ibrahim memusuhi mereka dan menghancurkan sesembahan mereka. Allah berfirman:
فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلاَّ كَبِيرًا لَهُمْ
“(Ibrahim) menjadikannya hancur berkeping-keping kecuali patung yang terbesar….”(Al-Anbiya`: 58)
Tokoh-tokoh Thaghut
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata: “Tokoh thaghut ada lima: Iblis la’natullah ‘alaih, orang yang disembah dan dia ridha diperlakukan demikian, orang yang menyeru orang lain agar menyembah dirinya, orang yang mengaku mengetahui ilmu ghaib, dan orang yang berhukum selain dengan hukum Allah.”
1.      Iblis, yaitu setan yang terkutuk dan dilaknat. Allah berfirman tentangnya:
وَإِنَّ عَلَيْكَ لَعْنَتِي إِلَى يَوْمِ الدِّينِ
“Sesungguhnya laknat-Ku atas kalian sampai hari kiamat.” (Shad: 78) .Awalnya Iblis bersama malaikat, tetapi enggan bersujud kepada Adam. Ketika diperintah untuk sujud kepada Adam itulah tampak kesombongan Iblis.
2. Seorang yang disembah dalam keadaan ridha. Adapun yang orang yang tidak ridha disembah bukanlah thaghut.
3.  Orang yang menyeru orang lain untuk menyembah dirinya.Dia termasuk thaghut, baik ada orang lain yang mengikuti dakwahnya ataupun tidak. Dia sudah menjadi thaghut dengan semata menyeru orang untuk menyembah dirinya. Termasuk dalam golongan ini adalah Fir’aun dan syaikh-syaikh tarekat Sufi yang menyeru pengikutnya untuk menyembah mereka.
4. Orang yang mengaku mengetahui sesuatu tentang ilmu ghaib. Karena ilmu ghaib (yang mutlak) adalah kekhususan Allah. Allah berfirman:
قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ
“Katakanlah, tidak ada yang mengetahui perkara ghaib di langit dan bumi kecuali Allah…” (An-Naml: 65)
Rasulullah menyatakan:
مِفْتَاحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا اللهُ؛ لَا يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِي غَدٍ، وَلَا يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِي الْأَرْحَامِ، وَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا، وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ، وَمَا يَدْرِي أَحَدٌ مَتَى يَجِيءُ الْمَطَرُ
“Kunci-kunci perkara ghaib ada lima, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah: Tidak ada seorangpun yang tahu apa yang akan terjadi besok; Tidak ada seorangpun yang tahu apa yang ada di dalam rahim-rahim; Suatu jiwa tidak mengetahui apa yang akan ia lakukan besok; Dan tidak mengetahui di negeri mana dia akan mati; Tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan hujan turun.”(HR. Al-Bukhari, Kitabul Jum’ah, Bab LaYadri Mata Yaji`ul Mathar illallah). Maka barangsiapa mengaku mengetahui perkara ghaib berarti telah kafir, karena telah mendustakan apa yang telah diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Termasuk golongan thaghut yang keempat adalah tukang sihir dan dukun-dukun.
5. Orang yang berhukum dengan selain hukum Allah. Berhukum dengan hukum yang Allah turunkan termasuk Tauhid Uluhiyyah dan meyakini bahwa Allah adalah hakim yang sebenar-benarnya adalah termasuk Tauhid Rububiyah. Oleh karena itu, Allah menyebut orang yang diikuti oleh pengikut mereka -dalam hal yang menyelisihi apa yang Allah turunkan- sebagai rabb bagi pengikut mereka.
Allah berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ
“Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan tukang ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah…” (At-Taubah: 31).
Berhukum dengan selain hukum Allah bisa termasuk kufur akbar yang mengeluarkan seorang dari Islam, dan bisa pula kufur ashgar yang tidak mengeluarkan seseorang dari Islam. Hal ini sesuai dengan keyakinan pelakunya. Karena, orang yang berhukum dengan selain hukum Allah ada beberapa jenis:
+ Orang yang berhukum dengan selain hukum Allah karena merendahkan dan membenci hukum Allah. Hal ini termasuk kufur akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Allah berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Hal itu karena mereka membenci apa yang Allah turunkan maka Allah menggugurkan amalan mereka.” (Muhammad: 9)
+ Orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, dengan keyakinan bahwa hukum selain Allah lebih afdhal dan lebih baik dari hukum Allah. Inipun kufur akbar yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam. Allah berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada hukum Allah, bagi orang-orang yang yakin?”(Al-Ma`idah: 50)
+Orang yang berhukum dengan selain hukum Allah dengan keyakinan bahwa hukum selain Allah tersebut sama dengan hukum Allah. Inipun kufur akbar.
Orang yang berhukum dengan selain hukum Allah karena meyakini tentang boleh dan halalnya berhukum dengan selain hukum Allah. Inipun pelakunya kafir, karena telah menghalalkan apa yang Allah haramkan.
+Orang yang berhukum dengan selain hukum Allah dalam keadaan masih meyakini bahwa hukum Allah lebih afdhal, dan tidak menyamakan hukum selain Allah dengan hukum-Nya, bahkan ia mengatakan bahwa hukum Allah lebih afdhal dan lebih tinggi. Dia tidak menghalalkan tindakan berhukum dengan selain hukum Allah. Hanya saja dia berhukum dengan selain hukum Allah semata karena syahwat, jabatan, dan kepentingan pribadi, dalam keadaan yakin bahwa dirinya salah dan sedang berbuat maksiat. Yang semacam ini termasuk kufur ashgar, pelakunya tidak keluar dari Islam. Inilah yang ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas.
Inilah macam-macam thaghut di alam ini. Jika engkau mengamatinya dan mengamati keadaan manusia, engkau akan lihat kebanyakan manusia telah berpaling dari ibadah kepada Allah menuju ibadah kepada thaghut. Mereka berpaling dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya menuju ketaatan kepada thaghut dan mengikutinya. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq-Nya kepada kaum muslimin untuk mengkufuri thaghut dan mentauhidkan Allah. Dan upaya terpenting untuk mendapatkannya adalah dengan menyebarkan dakwah tauhid kepada umat ini. Wallahu a’lam bish-shawab.

C .Korelasi kedua ayat terhadap kehidupan

Menurut saya, kedua ayat ini saling berkaitan dalam kehidupan kita sebagai umat islam, selain membahas tentang aqidah dan sempurnanya agama islam, ayat 255 pada surat al baqarah ini juga merupakan salah satu ayat yang mahsur dengan berbagai faidah nya bagi kita semua, salah satunya yaitu Disunahkan untuk menjadikan bacaan Ayat Kursi Sebagai wirid yang dibaca saat pagi dan sore, ketika hendak tidur dan dzikir setelah shalat fardhu, sebagaimana hadits berikut: “Barangsiapa membacanya ketika pagi, akan selamat dari gangguan jin sampai waktu sore. Dan siapa yang membacanya ketika sore, akan selamat dari gangguan jin sampai waktu pagi”. (HR Hakim dengan sanad Jayid).
Kemudian di ayat 256 Allah telah menjelaskan kepada kita semua, bahwa apa itu thagut dan hukum bagi orang-orang yang beriman kepada thagut, selain itu ayat ini juga menjelaskan, bahwa tidak adanya paksaan kepada siapapun untuk masuk islam, dan jelas-jelas sudah bahwa kegiatan terorisme yang marak terjadi belakangan ini para pelakunya bukan lah orang-orang islam yang lurus jalannya melainkan yang sesat, dan celakalah mereka.
Dalam kedua ayat ini juga menyiratkan tentang bagaimana kita sebagai umat islam harus menjaga tauhid kita, dan berlaku toleransi terhadap orang-orang selain islam yang tidak menyakiti maupun mengintimidasi kita.


BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, saya menyimpulkan penafsiran terhadap surat al baqarah ayat 255-256, dalam penafsiran tentang aqidah islamiyah adalah sebagai berikut :

v  Ayat ini memerintahkan kepada seluruh umat islam agar tetap menjaga dirinya dari kesesatan kususnya adalah dala perihal aqidah islamiyah, sebab aqidah merupakan dasar atau pondasi yang sangat urgen untuk kehidupan beribada kepada Allah swt.

v  Mengimani thagut merupakan dosa syirik, dan Allah akan mengampuni seluruh dosa selain dosa syirik, maka dari itu setelah mengetahui uraian ayat ini maka selayaknya kita harus lebih hati-hati lagi dalam bertindak agar tak terjerumus dalam syirik yang diakibatkan oleh thagut.



B.      SARAN
Adapun saran dari saya yaitu,
Ø   Kita sebagai muslim harus selektif untuk menerima kajian tentang aqidah dan mampu mencari penjelasan yang konkret dari al qur’an itu sendiri, dan apa bila belum mampu maka haruslah menanyakan perihal tersebut kepada orang yang lebih faham  dan jelas ketaqwaannya kepada Allah swt.








DAFTAR PUSTAKA

http://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2012/12/11/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-255-rahasia-ayat-kursi/
[Sumber: Tafsir al-Qur-an al-Karim, oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin jilid 3, dan Tafsir as-Sa'di, oleh syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa'di, semoga Allah merahmati keduanya. Diposting oleh Sufiyani] http://alsofwah.or.id/?pilih=lihatquran&id=208
Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 3 Al-Baqarah s.d Ali-imran 91 : Sinar Baru Algensindo.
http://www.almanhaj.or.id/content/1588/slash/0

http://www.asysyariah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar