“Orang yang bijaksana adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya
tidak tahu – Socrates”
Seorang manusia harus mampu mengenal dirinya. Dalam proses mengenali
dirinya inilah manusia akan belajar untuk menjadi bijaksana.
Pagi itu Leo, Genta, Jebraw, dan Ramdan bersiap untuk melakukan
perjalanan hati dan perjalanan alam untuk mendaki gunung merbabu. “pokoknya
besok pagi semuanya harus udah dikost gua jam 8, gak pake ngaret ya, kita
packing terakhir sebelum berangkat.oke” pesan Leo pada teman-temannya pada
malam sebelum hari pemberangkatan.
Pukul 8.00 pagi, Leo siap dengan tas carrier yang berisi tenda dome
dengan kapasitas 4-5 orang, 3 liter air mineral, 3 buah baju bahan, 2 buah
celana parasut, sebuah celana trening, penutup kepala, dan sarung tangan, jaket
water proof wind proof, sepatu dan sandal gunung, sleeping bag, kopi, susu,
beserta dua gelas beras, sedikit garam, 2 kaleng sarden, dan sedikit makanan
ringan. Kemudian datang Genta dengan tas day pack nya yang isinya hampir sama
dengan tas carrier milik Leo, namun Genta tidak membawa sleeping bag, dengan alasan
“ah berat...males”.
padahal dalam mendaki gunung, seorang pendaki harus mengutamakan
keselamatan dan keamanan dirinya, sleeping bag sangat berguna bagi pendaki,
agar saat tidur mampu tetap hangat dan tidak terkena hipotermia karena udara
gunung yang sangat dingin.
“Ta, kenapa gak bawa sleeping bag?? Itu penting ta.. dingin di
gunung”
“uwes ra popo, aku nggowo sarung og”
“lu kata kita mau ngeronda apa, bawa sarung doang,??”
“assalamu’alaikum....piye jhon wes beres?” Jebraw datang dengan
menggembol day pack nya yang sudah tampak sangat penuh.
“udah braw, tinggal snack nya aja nih dikit lagi, jatah elu yang
bawa” Jebraw pun mengangkut beberapa bungkus snack ke dalam day pack nya.
“wei,, si Ramdan kemana ini koq lama amat??” tanya Leo kepada
teman-temannya.
“mau sih jarene agek nek angkot jhon” jawab Jebraw.
Tak berselang lama Ramdan pun datang, dengan day pack, yang
kemudian pamer head lamp nya yang baru saja ia pinjam. “nihh head lamp ku keren
kan?? Barusan minjem, makanya lama hehe” ia nyengir tanpa salah.
“oke sekarang cek list dulu ya, sepatu, sandal gunung, jaket,
beras, air 3 liter, pakaian, penutup kepala, sarung tangan, kaos kaki, snack,
head lamp, matras, sleepig bag, tenda dome, kompor portable, nasting, gula
merah, sarden sama mie instan udah siap semua kan??” Leo memeriksa ceklist
pendakian mereka.
“sleeping bag cuman ada dua, sama matras juga cuman ada dua juga
gimana?” tanya ramdan.
“yaudah mau gimana lagi, nanti kita atur aja diatas”
“oh iya kita lewat jalur Cuntel, jadi ini akomodasi elu yang atur
Ta, kita ber 4, ongkos naik mobil dari pasar sapi ke kopeng berapa, sama nanti
pasti naik ojek ke base camenya, jadi pokoknya gua serahin ke elu aja ya”
“siaaaapppp”
Pukul 10.00 mereka berangkat dari kost Leo yang terletak di daerah
palang Salatiga, dengan senjata berupa day pack dan carrier dipunggung, serta
jaket yang dipegang masing masing, mereka melangkah pasti dengan gaya pendaki,
atau lebih mirip seperti jagoan jagoan di film holywood. Melewati jalanan yang
ramai, mereka menjadi pusat perhatian para pengguna jalan, semua mata melirik
mereka, mungkin karena mereka berempat terlihat keren dengan tas day pack juga
carrier dipunggungnya.
Dalam permasalahan pendaki, naik angkot sangatlah tidak
menyenangkan. Sebab mereka harus mengalah oleh tas tas mereka. Namun itu hanya
sebagian kecil dari keluh kesah sebagai seorang pendaki gunung. Dalam hal ini
mereka berempat pun ikut merasakannya.
Pukul 11.00 mereka sampai di base came pendakian desa Cuntel, yang
terletak di Kec.Kopeng kab.Semarang. mereka langsung menaruh tas mereka di
pelataran base came , dan kemudian mereka berfoto ria di depan base came.
Setelah puas berfoto mereka pun masuk ke base came dan mengisi surat ijin
pendakian, yang harus menyebutkan pula bekal yang dibawa oleh mereka, ini
dilakukan agar sampah yang dibawa pendaki bisa dikendalikan. Dengan membayar
Rp.4000 per orang, mereka pun sudah mendapat ijin mendaki dihari itu.
Siang itu mereka tak langsung berangkat mendaki, “mangkate jam siji
wae yo, istirahat sek, pemanasan sek, karo shalat dzuhur sek ya” ..”okee”.
mereka sepakat untuk menunggu adzan dzuhur terlebih dahulu, baru kemudian
berangkat.
“merbabu bro, 3.145 meter diatas permukaan laut, atap jawatengah.
Katanya gunung ini , salah satu gunung terindah di Indonesia” Leo mengajak
Genta berbicara.
“ya, sing penting doa sek wae, biar selamet”
Dan adzan dzuhur pun berkumandang, mereka pun bergegas untuk
shalat. Pukul 12.30 mereka melakukan packing terakhir untuk memastikan barang
barang yang mereka bawa. “oke. Clear!!” teriak Ramdan. Pukul 13.00 mereka mulai
bergerak mendaki gagahnya gunung merbabu. Siang itu base came dan merbabu
dipenuhi kabut sehingga panas matahari tidak begitu terasa.
Baru beberapa langkah berjalan, baru sampai diladang para penduduk,
dan jalannya pun masih landai, Leo sudah berhenti meminta istirahat. Entah
meminta istirahat atau karena ingin melihat pemandangan yang indah
disekitarnya, maklum saja, Leo ini adalah pendatang di JawaTengah.
Setelah tersa cukup, mereka pun melanjutkan kembali perjalanan mereka.
Setelah melewati ladang penduduk, mereka memasuki kawasan hutan gunung merbabu,
dengan track yang masih cukup landai. Dan mereka pun sampai di pos bayangan
satu yang bernama Dalan Tengah dengan ketinggian 1.858 mdpl.
Setelah beberapa menit beristirahat, mereka pun melanjutkan kembali
perjalanan menuju pos bayangan dua. Jalan yang mereka lalui mulai ngetrack
pendaki menyebutnya , sebab track yang mereka lalui semakin menanjak dan licin
karena semalam gunung ini diguyur hujan lebat. Belum sampai pos bayangan dua,
Leo sudah meminta break kembali, dan mereka pun break kembali. Selang beberapa
menit mereka melanjutkan perjalanan mereka kembali. Sampai lah mereka di pos
bayangan dua yang bernama Gumuk, dengan ketinggian 2.063 mdpl. Disini mereka
membuka sebungkus makanan ringan yang mereka bawa. Mereka menyantapnya dengan
diiringi tawa canda. Memang terasa begitu nikmatnya makan ditengah rasa lelah,
dan berada didalam hutan yang udaranya masih sangat bersih dengan diiringi oleh
candaan bersama kawan kawan tercinta.
Sudah cukup makan dan bercanda, mereka pun melanjutkan perjalanan
mereka. Semakin ngetrack jalan yang mereka lalui. Leo kembali meminta break
karena mulai merasa lelah dan berat atas beban tas carrier 60liter yang
dibawanya. “Yo, koe pasti kuat, ayooo semangattttt!!! Nanti di pos 1 kita
tukeran tas aja okeee !!” Genta mulai menyemangati. “yaudah ayo kita jalan
lagi, bismillah...”
Mereka mendaki kembali. Sampai di pos 1 Watu Putut 2.145 mdpl, Leo
mulai terlihat pucat dan keringatnya mulai bercucuran. Dipos 1 ini hutan nya
sedikit terbuka, sehingga mereka bisa melihat keindahan punggung gunung merbabu
yang sangat eksotis. “piye jhon, jek kuat tohh” tanya jebraw kepada Leo yang
sedari tadi menyeka keringatnya. “aduhh engap nih gua” jawab Leo. “wes udut
disek wae, sekalian toto toto, tuker bawaan” potong Genta.
Dari watu putut, jalan mulai tambah menanjak dan semakin licin dan
track masih berada di dalam hutan yang lebat. Akhirnya mereka mulai melangkah
kembali dengan perlahan tapi pasti dan menjaga tempo jalan mereka, karena
dengan menjaga tempo jalan, maka akan tidak terlalu menguras nafas dan tenaga.
Belum setngah perjalanan, Leo kembali berkata “Breaaaak....”. dan mereka pun
berhenti, ditengah tengah rimbunnya hutan. Sunyi dan sepi, dan hanya suara
mereka yang terdengar di hutan.
“oke kita lanjut lagi ....” kata Leo. Sampai di pos 2 Kedokan 2.300
mdpl. Pos 2 merupakan ujung hutan bagian bawah di gungun merbabu. Dipos ini,
mereka membuka mie instan dan kemudian memakannya dengan diremuk. Nikmat nya
tiada tara, makan ditengah indahnya alam ciptaan Tuhan yang harus disyukuri.
“wes madang, wes udut, wes ngombe, waktune mangkaattt !!!!” teriak Genta.
Dan mereka pun beranjak dari pos 2. Beberapa langkah berselang
mereka berhenti sejenak, “sumpah ini kereeen bangeettt” decak kagum Leo kepada
punggung gunung merbabu yang terlihat seperti bukit bukit indah yang terbuat
dari karpet berwarna hijau, sembari mengemut gula merah. Gula merah berfungsi
sebagai penambah tenaga, karena kandungan gula yang terdapat didalamnya mampu
menambah energi. Namun mereka harus tetap melangkah karena cuaca digunung tak
dapat diprediksikan.
Ditengah perjalanan, mereka menemukan strawberry hutan, dan mereka
mencicipi buah pemberian Tuhan melalui gunung. Mereka bersantai sejenak sembari
melihat pemandangan indah dengan langit cerah. Namun baru 2 menit mereka
merasakan indah nya pemandangan dengan langit yang cerah, kini tiba tiba kabut
datang dan jarak pandanga pun hanya berjarak 1 meter, lebih dari itu yang
terlihat hanya putih.
“Kita harus lanjut, sebelum ada badai dateng. Tapi jaga jarak, depan
jangan terlalu cepet ya Dhan. Terus kalo emang yang depan udah gak keliatan,
teriak aja, biar yang depan nunggu, pokoknya jangan pernah pisah dari kelompok.
Okee !!” Leo berkata.
“oke siappp..Dhan koe depan , aku nek buri ae okee” Jebraw meminta.
Mereka pun melanjutkan perjalanan kembali. Sore itu pukul 15.30, hujan mulai
turun disertai kabut yang semakin tebal. Dan kini mereka memasuki hutan
kembali. Ditengah perjalanan, mereka mulai bisa melihat adanya pohon pohon
edelwis atau bunga keabadian. Namun kabut semakin lama semakin tebal, dan jarak
pandang semakin dekat, namun keadaan ini tak berlangsung lama. Kabut perlahan
pergi bersama hujan.
Semakin masuk kedalam hutan dengan jalan yang cukup datar, dan
mereka sampai dijalan yang mulai menanjak kembali, dengan tanah yang licin dan
banyaknya pohon yang tumbang menghalangi jalan mereka. Bukan hanya track yang
semakin sulit, kini hujan dan kabut yang lebih tebal kembali menimpa mereka
semua. “kumpul dulu...” teriak Leo. “kabut makin tebel, track juga makin susah,
perhatiin temen jangan mentingin diri sendiri, disini yang penting kita semua
selamet bukan gua atau elu aja yang selamet tapi semuanya. Kita berdoa dulu
sebelum lanjut lagi...” Leo berkata lagi. Dan mereka pun berdoa ditengah
tebalnya kabut dan guyuran air hujan.
Setelah berdoa mereka melanjutkan perjalanan kembali dengan track
dihalangi oleh pohon pohon yang tumbang. “ini kabutnya tebel banget, gua sampe
bisa ngeliat titik titik airnya jalan di depan mata gua” Leo berbicara sendiri.
Mereka terus mendaki dan terus mendaki ditengah hujan dan tebalnya kabut, dan
sesekali terdengar suara “awas hati hati harus jongkok, ada pohon” , atau “awas
jangan pegangan disekitar sini, taneman duri semua adanya”.
Terus mendaki hingga mereka sampai ditanah lapang yang luas sekali.
Kabut perlahan mulai menipis dan jarak pandang pun kembali seperti semula.
Namun rasa mencekam mulai menaungi mereka ditempat ini. “Ini pos 3 namanya
Kargo Pasar, biasanya disebut Pestan atau Pasar Setan... ada pantangan disini,
pertama gak boleh buang air disini mau air besar atau air kecil, jangan
berisik, gak boleh pake baju warna merah, dan usahain kita gak ngecame atau nge
diriin tenda disini. Mending jalan terus aja” Leo menerangkan tempat yang
membuat mereka bergidik ngeri.
Mereka pun kini lepas dari dalam hutan dan cuaca mulai cerah
kembali namun jalan yang mereka lalui semakin menanjak. Mereka berhenti sejenak
sambil berbalik arah dan melihat pemandangan kota Salatiga, Kab. Semarang, dan
gunung ungaran. Mereka terlalu asik dengan pemandangan yang indah sehingga
mereka lupa waktu.
Saat ini pukul 17.30 ,hari semakin gelap dan mereka masih di jalur
yang sangat menanjak, sehingga tidak mungkin untuk mendirikan tenda. Mereka
pikir, mereka bisa cepat sampai ke base point atau pos 4 dan biasa disebut pos
pemancar, karena disana terdapat menara pemancar yang sudah tak terpakai. Namun
ternyata hujan kini mulai mengguyur mereka kembali, dan gelap pun mulai
menyapa. Track yang mereka lalui kini benar benar menanjak, mereka harus
merangkak atau pendaki biasa menyebutnya kepala ketemu dengkul, karena jika
tidak hati hati dan extra waspada, dengkul teman bisa menghajar kepala karena
terpeleset.
“Dhan, Braw, head lamp nya nyalain.. udah gak mungkin kalo tanpa
head lamp, track nya masih bakalan tambah vertikal, ditambah ujannya makin
deres. Ayoo cepet sebelum badai dateng” teriak Leo.
“iyoo ayooo,, tp tetep hati hati karo foqus, sing penting selamet”
potong Genta.
Namun fisik mereka mulai melemah, dan track semakin vertikal saja.
Leo sudah tak mampu merangkak kembali. “Yo , wes kene tas mu, biar aku yang
bawa, aku masih kuat” teriak Ramdan , “ah gak usah Dhan, elu entar keberatan,
malah tambah susah jalannya kan masih terus kaya gini....” jawab Leo. “udah
gapapa, dari pada kamu kaya gitu, kecapen. Udah sini tasnya terus kita lanjut
lagi, udah gelap ini” sembari menarik tasnya Leo.
Dan mereka pun terus merangkak dengan Ramdan sebagai sweeper dan
membawa 2 tas day pack, Genta di posisi
2 dengan carrier, Leo diposisi 3 dengan lelah nya, dan diposisi ke empat ada
Jebraw dengan day pack dan lelah nya.
Semua nya berjalan merangkak disertai lelah nya masing masing. Hingga
akhirnya mereka sampai di pos pemancar atau pos 4 , dengan ketinggian 2.883
mdpl.
Mereka sampai pada pukul 18.30, disertai guyuran hujan, dan angin
yang sangat kencang dan kabut yang semakin tebal. Mereka berteduh didalam
bangunan pemancar dari badai. Didalam bangunan sudah ada beberapa pendaki yang
membuat api unggun dengan alas papan petunjuk bahwa ini adalah pos 4. Mereka
pun ikut menghangatkan diri, dan mulai berbincang dan bercanda ala pendaki.
Pukul 22.00 mereka mendirikan tenda, sembari memasak mie instan dan
kopi untuk menghangatkan tubuh, sebab hujan sudah reda, namun kabut masih
sangat tebal. Dan suhu saat itu mungkin telah jatuh sampai hanya 5 derajat
celcius. Dan semakin malam akan semakin jatuh, bahkan sampai dibawah 0 derajat.
Pukul 23.00 mereka tidur. dengan matras sebagai alas dan 1 Sleeping
bag sebagai alas dan 1 lagi sebagai selimut, agar mereka semua tidak terkena hipotermia.
Sebelum tidur Leo berkata, “besok kalo cerah, kita summit jam 3 berangkat, jadi
tidur yang maksimal”. Summit adalah kata lain untuk mencapai puncak.
Pukul 2.59, Leo terbangun dan pergi keluar tenda untuk melihat
cuaca. “alhamdulillah cuacanya cerah....”.Leo bersegera membangunkan
teman-temannya. Pagi itu cuaca cerah dan gemintang dilangit terasa sangat
dekat, mereka dibumi tapi dekat sekali dengan langit. “kita bikin kopi sama
sarapan dulu aja, baru summit, masak nasi sama sardennya. Leo masak air buat
kopi, aku, Jebraw sama Ramdan masak nasi sama sardennya” teriak Genta.
Akhirnya mereka sibuk dengan kegiatan mereka masing masing. Namun
“namanya juga gunung sekarang cerah 2 detik kemudian langsung ujan, itu mah
biasa” itu adalah pengakuan para pendaki, dan benar saja , sekarang hujan turun
dan langit hujan kembali. Dan mereka menunda summit sampai cuaca cerah.
Sembari menunggu cerah, mereka sarapan dan meminum kopi juga susu
panas, untuk menjaga tubuh agar tetap hangat. Dan subuh pun tiba, mata jendela
fajar. Mereka shalat subuh 2.300 meter diatas permukaan laut. Tepat dihadapan
mereka terhampar luas lautan awan seperti kapas, yang bergulung gemulung.
Seakan Tuhan menyambut mereka dengan keindahan ciptaan-Nya, dan monyet-monyet
penghuni gunung pun seakan ikut bertasbih bersama mereka, berada tepat
dibelakang mereka yang sedang shalat. Saat itu mereka berada dibumi namun
sangat dekat dengan langit.
Pukul 7.00 mereka pun summit menuju puncak syarif 3.119 mdpl.
“sumpah ini kerrrren banget, asli kita diatas awan” Leo berdecak kagum. ”cuk
foto cuk, arep tak upload nek facebook ki” Genta memulai mendukumentasikan
momen indah ini, dan diikuti oleh teman temannya.
Cuaca cerah kala itu, hempasan angin yang kencang membuat hamparan
ilalang dipunggung gunung bergoyang mendayu-dayu seperti sedang mendengar orkes
dangdut. Tak lama di puncak syarif mereka menuju puncak Kenteng Songo 3.145
mdpl puncak tertinggi gunung merbabu.
Track menuju puncak kenteng songo adalah puncak tantangan digunung
merbabu, sebab track yang dilalui adalah jalan setapak yang mengitari punggung
puncaknya, kemudian track nya adapula yang berbentuk vertikal, sehingga para
pendaki harus memanjat tebing tebing yang menjadi jalurnya.
Belum selesai dengan jalur vertikal, kini mereka harus menghadapi
jalur maut yang biasa disebut jembatan setan. Jembatan setan adalah satu
satunya jalan yang harus dilalui oleh setiap pendaki yang ingin mencapai puncak
kenteng songo. Jalur ini dinamakan jematan setan, sebab jalur ini hanya berupa
tebing yang sangat tinggi dengan pijakan hanya selebar telapak tangan orang
dewasa saja. Cara melaluinya adalah dengan “melipir” atau climbing , atau
merayap berpegangan ke dinding tebing, sebab jalur ini membentang secara
horizontal sejauh 10 meter dengan kontur yang tak rata.
“semuanya hati hati, kita lewat jembatan setan bro” seorang pendaki
lain sedang berbicara pada kelompoknya. “mas ini gak ada jalur lain selain
lewat sini?” tanya Genta kepada salah satu pendaki yang turut menganteri untuk
melewati jembatan setan. “gak ada mas, ini jalur satu satunya ke kenteng songo,
harus hati hati mas, licin tebing nya, belakangnya jurang, kepeleset sedikit
bisa ilang bahkan lewat mas” jawab pendaki itu kepada Genta.
“kita doa aja dulu, pelan pelan ngerayapnya, saling jaga dan saling
doa bro” Jebraw angkat bicara. “iya kita doa dulu, berdoa
dimulai..........selesai” Ramdan memimpin doa. Perlahan kabut mulai melingkupi
jembatan setan bertepatan dengan giliran 4 sahabat ini akan melaluinya.
“kabut bro, gerimis juga, piye ki, spatuku licin eg” Jebraw mulai
gentar. “udah yakin aja kita pasti bisa, banyak yang bisa kok Braw, udah gua
didepan abis pendaki itu, Ta elu abis gua, terus elu Braw, dilanjut sama elu
Dhan, kita merayap satu satu, jaga dan perhatiin batu yang dipijak. Satu lagi,
inget terus sama Tuhan. Ayo gerak sebelum tambah licin, ujan mulai deres,
bismillah....”.
“gimana Ta, jangan gemeteran, yakin aja kita pasti bisa, jangan
liat kebelakang, perhatiin tebing nya aja, oke.” Leo meyakinkan Genta selagi
memilih pijakan tebing. “sraakkkkk!!!!!...” “Allah huakbar,, arrrgghhhh licin
bangett..” , “Dhan kenapa Dhan??”, “uwes aku ra popo Braw, lanjut meneh”, “ya
wis, alon alon wae, semangattt!!” Jebraw menyemangati Ramdhan.
“alhamdulillah kita selamet....”, “belom Yo, liat depan, kita harus
manjat keatas tebing”, ”ampun tinggi banget bro.....”. mereka harus melewati
titian tebing dengan cara memanjat, dan lagi yang menunggu mereka adalah jurang
yang menganga dengan tebalnya kabut. “udah ayo lewatin, kita pasti bisa!!!!”
Leo mencoba menyemangati kawan kawannya.
Dengan usaha dan keberanian serta keyakinan pada diri dan Tuhan
akhirnya mereka pun sampai di puncak kenteng songo. Puncak tertinggi gunung
merbabu, 3.145 mdpl. Namun sayangnya karena kabut, mereka tak mampu menikmati
keindahan puncak kenteng songo dan hamparan samudera diatas awan. Namun mereka
masih mampu menikmati betapa terjalnya jalur yang mereka tempuh. Sembari
memakan biskuit dan air mineral, mereka menikmati padang edelwis yang terhampar
luas disekitar mereka. Tak ada yang berhak untuk dimintai pertolongan selain
Tuhan, dan hanya kepadaNyalah kita bergantung.
“Tuhan tak mengenal batasan, Tuhan tak mengenal batasan, terkadang
kita manusia menjadi batasan batasan itu sendiri, Tuhan tak mengenal batasan..”
Leo bernyanyi.Kemudian mereka turun kembali melewati jalur yang sama, yaitu
jembatan setan, dengan rasa yang tak berubah seperti saat mereka melaluinya
tadi. Namun Tuhan masih setia melindungi mereka, dan mereka pun kembali ke pos
4 untuk berkemas kembali. Dan pukul 12.00 mereka turun dari pos 4 menuju base
came untuk pulang.
Track menurun semakin sulit karena jalan semakan licin dan mereka
harus menahan beban tubuh agar mereka tidak tergelincir dan masuk ke jurang.
Leo dalam perjalanan pulang, lebih sering meminta break. Dengan alasan kakinya
sakit dan tak kuat lagi untuk mengerem tubuhnya.
Namun mereka berempat adalah manusia manusia yang bijak. Mereka
mampu menahan ego mereka untuk kepentingan bersama. Leo lelah, mereka berhenti.
Jebraw lapar, Mereka berhenti untuk makan, Genta ragu, Leo meyakinkannya,
Ramdhan meski nafas dan kakinya seperti unta, minum hanya sedikit, membawa 2
day pack sekaligus, dia tetap berlari menuruni gunung, jika merasa terlalu jauh
dari temannya, dia berhenti untuk menunggu temannya.
Sampai pukul 15.00 mereka sampai dibase came cuntel, dan mereka
pulang ke rumah masing masing dengan pakaian penuh lumpur dan hidup penuh
kebijaksanaan dan pelajaran.
Mendaki gunung bukan sekedar perjalanan alam, melainkan perjalanan
hati, pendidikan dan pembentukan karakter manusia teruji pada perjalanan naik
gunung, karena saat naik gunung, manusia hanya mampu meminta tolong kepada
Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah Swt.
Manusia yang bijak adalah manusia yang mau menahan egonya untuk
orang lain dan berusaha mengerti apa hakikat Tuhan memberinya kehidupan.
Digunung, manusia akan merasa sangat kecil dan bersyukur pada apa yang mereka
telah miliki. Hakikatnya manusia adalah mahluk yang paling membutuhkan Tuhan,
dan kebijaksanaan lahir dari hubungan manusia yang berusaha mendekat kepada
Tuhan nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar