Jumat, 28 Maret 2014

Mata Jendela Fajar

“Orang yang bijaksana adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya tidak tahu – Socrates”
Seorang manusia harus mampu mengenal dirinya. Dalam proses mengenali dirinya inilah manusia akan belajar untuk menjadi bijaksana.

Pagi itu Leo, Genta, Jebraw, dan Ramdan bersiap untuk melakukan perjalanan hati dan perjalanan alam untuk mendaki gunung merbabu. “pokoknya besok pagi semuanya harus udah dikost gua jam 8, gak pake ngaret ya, kita packing terakhir sebelum berangkat.oke” pesan Leo pada teman-temannya pada malam sebelum hari pemberangkatan.

Pukul 8.00 pagi, Leo siap dengan tas carrier yang berisi tenda dome dengan kapasitas 4-5 orang, 3 liter air mineral, 3 buah baju bahan, 2 buah celana parasut, sebuah celana trening, penutup kepala, dan sarung tangan, jaket water proof wind proof, sepatu dan sandal gunung, sleeping bag, kopi, susu, beserta dua gelas beras, sedikit garam, 2 kaleng sarden, dan sedikit makanan ringan. Kemudian datang Genta dengan tas day pack nya yang isinya hampir sama dengan tas carrier milik Leo, namun Genta tidak membawa sleeping bag, dengan alasan “ah berat...males”.

padahal dalam mendaki gunung, seorang pendaki harus mengutamakan keselamatan dan keamanan dirinya, sleeping bag sangat berguna bagi pendaki, agar saat tidur mampu tetap hangat dan tidak terkena hipotermia karena udara gunung yang sangat dingin.

“Ta, kenapa gak bawa sleeping bag?? Itu penting ta.. dingin di gunung”
“uwes ra popo, aku nggowo sarung og”
“lu kata kita mau ngeronda apa, bawa sarung doang,??”
“assalamu’alaikum....piye jhon wes beres?” Jebraw datang dengan menggembol day pack nya yang sudah tampak sangat penuh.
“udah braw, tinggal snack nya aja nih dikit lagi, jatah elu yang bawa” Jebraw pun mengangkut beberapa bungkus snack ke dalam day pack nya.
“wei,, si Ramdan kemana ini koq lama amat??” tanya Leo kepada teman-temannya.
“mau sih jarene agek nek angkot jhon” jawab Jebraw.

Tak berselang lama Ramdan pun datang, dengan day pack, yang kemudian pamer head lamp nya yang baru saja ia pinjam. “nihh head lamp ku keren kan?? Barusan minjem, makanya lama hehe” ia nyengir tanpa salah.

“oke sekarang cek list dulu ya, sepatu, sandal gunung, jaket, beras, air 3 liter, pakaian, penutup kepala, sarung tangan, kaos kaki, snack, head lamp, matras, sleepig bag, tenda dome, kompor portable, nasting, gula merah, sarden sama mie instan udah siap semua kan??” Leo memeriksa ceklist pendakian mereka.

“sleeping bag cuman ada dua, sama matras juga cuman ada dua juga gimana?” tanya ramdan.
“yaudah mau gimana lagi, nanti kita atur aja diatas”
“oh iya kita lewat jalur Cuntel, jadi ini akomodasi elu yang atur Ta, kita ber 4, ongkos naik mobil dari pasar sapi ke kopeng berapa, sama nanti pasti naik ojek ke base camenya, jadi pokoknya gua serahin ke elu aja ya”
“siaaaapppp”

Pukul 10.00 mereka berangkat dari kost Leo yang terletak di daerah palang Salatiga, dengan senjata berupa day pack dan carrier dipunggung, serta jaket yang dipegang masing masing, mereka melangkah pasti dengan gaya pendaki, atau lebih mirip seperti jagoan jagoan di film holywood. Melewati jalanan yang ramai, mereka menjadi pusat perhatian para pengguna jalan, semua mata melirik mereka, mungkin karena mereka berempat terlihat keren dengan tas day pack juga carrier dipunggungnya.

Dalam permasalahan pendaki, naik angkot sangatlah tidak menyenangkan. Sebab mereka harus mengalah oleh tas tas mereka. Namun itu hanya sebagian kecil dari keluh kesah sebagai seorang pendaki gunung. Dalam hal ini mereka berempat pun ikut merasakannya.
Pukul 11.00 mereka sampai di base came pendakian desa Cuntel, yang terletak di Kec.Kopeng kab.Semarang. mereka langsung menaruh tas mereka di pelataran base came , dan kemudian mereka berfoto ria di depan base came. Setelah puas berfoto mereka pun masuk ke base came dan mengisi surat ijin pendakian, yang harus menyebutkan pula bekal yang dibawa oleh mereka, ini dilakukan agar sampah yang dibawa pendaki bisa dikendalikan. Dengan membayar Rp.4000 per orang, mereka pun sudah mendapat ijin mendaki dihari itu.

Siang itu mereka tak langsung berangkat mendaki, “mangkate jam siji wae yo, istirahat sek, pemanasan sek, karo shalat dzuhur sek ya” ..”okee”. mereka sepakat untuk menunggu adzan dzuhur terlebih dahulu, baru kemudian berangkat.

“merbabu bro, 3.145 meter diatas permukaan laut, atap jawatengah. Katanya gunung ini , salah satu gunung terindah di Indonesia” Leo mengajak Genta berbicara.
“ya, sing penting doa sek wae, biar selamet”

Dan adzan dzuhur pun berkumandang, mereka pun bergegas untuk shalat. Pukul 12.30 mereka melakukan packing terakhir untuk memastikan barang barang yang mereka bawa. “oke. Clear!!” teriak Ramdan. Pukul 13.00 mereka mulai bergerak mendaki gagahnya gunung merbabu. Siang itu base came dan merbabu dipenuhi kabut sehingga panas matahari tidak begitu terasa.

Baru beberapa langkah berjalan, baru sampai diladang para penduduk, dan jalannya pun masih landai, Leo sudah berhenti meminta istirahat. Entah meminta istirahat atau karena ingin melihat pemandangan yang indah disekitarnya, maklum saja, Leo ini adalah pendatang di JawaTengah.

Setelah tersa cukup, mereka pun melanjutkan kembali perjalanan mereka. Setelah melewati ladang penduduk, mereka memasuki kawasan hutan gunung merbabu, dengan track yang masih cukup landai. Dan mereka pun sampai di pos bayangan satu yang bernama Dalan Tengah dengan ketinggian 1.858 mdpl.

Setelah beberapa menit beristirahat, mereka pun melanjutkan kembali perjalanan menuju pos bayangan dua. Jalan yang mereka lalui mulai ngetrack pendaki menyebutnya , sebab track yang mereka lalui semakin menanjak dan licin karena semalam gunung ini diguyur hujan lebat. Belum sampai pos bayangan dua, Leo sudah meminta break kembali, dan mereka pun break kembali. Selang beberapa menit mereka melanjutkan perjalanan mereka kembali. Sampai lah mereka di pos bayangan dua yang bernama Gumuk, dengan ketinggian 2.063 mdpl. Disini mereka membuka sebungkus makanan ringan yang mereka bawa. Mereka menyantapnya dengan diiringi tawa canda. Memang terasa begitu nikmatnya makan ditengah rasa lelah, dan berada didalam hutan yang udaranya masih sangat bersih dengan diiringi oleh candaan bersama kawan kawan tercinta.

Sudah cukup makan dan bercanda, mereka pun melanjutkan perjalanan mereka. Semakin ngetrack jalan yang mereka lalui. Leo kembali meminta break karena mulai merasa lelah dan berat atas beban tas carrier 60liter yang dibawanya. “Yo, koe pasti kuat, ayooo semangattttt!!! Nanti di pos 1 kita tukeran tas aja okeee !!” Genta mulai menyemangati. “yaudah ayo kita jalan lagi, bismillah...”

Mereka mendaki kembali. Sampai di pos 1 Watu Putut 2.145 mdpl, Leo mulai terlihat pucat dan keringatnya mulai bercucuran. Dipos 1 ini hutan nya sedikit terbuka, sehingga mereka bisa melihat keindahan punggung gunung merbabu yang sangat eksotis. “piye jhon, jek kuat tohh” tanya jebraw kepada Leo yang sedari tadi menyeka keringatnya. “aduhh engap nih gua” jawab Leo. “wes udut disek wae, sekalian toto toto, tuker bawaan” potong Genta.

Dari watu putut, jalan mulai tambah menanjak dan semakin licin dan track masih berada di dalam hutan yang lebat. Akhirnya mereka mulai melangkah kembali dengan perlahan tapi pasti dan menjaga tempo jalan mereka, karena dengan menjaga tempo jalan, maka akan tidak terlalu menguras nafas dan tenaga. Belum setngah perjalanan, Leo kembali berkata “Breaaaak....”. dan mereka pun berhenti, ditengah tengah rimbunnya hutan. Sunyi dan sepi, dan hanya suara mereka yang terdengar di hutan.



“oke kita lanjut lagi ....” kata Leo. Sampai di pos 2 Kedokan 2.300 mdpl. Pos 2 merupakan ujung hutan bagian bawah di gungun merbabu. Dipos ini, mereka membuka mie instan dan kemudian memakannya dengan diremuk. Nikmat nya tiada tara, makan ditengah indahnya alam ciptaan Tuhan yang harus disyukuri. “wes madang, wes udut, wes ngombe, waktune mangkaattt !!!!” teriak Genta.

Dan mereka pun beranjak dari pos 2. Beberapa langkah berselang mereka berhenti sejenak, “sumpah ini kereeen bangeettt” decak kagum Leo kepada punggung gunung merbabu yang terlihat seperti bukit bukit indah yang terbuat dari karpet berwarna hijau, sembari mengemut gula merah. Gula merah berfungsi sebagai penambah tenaga, karena kandungan gula yang terdapat didalamnya mampu menambah energi. Namun mereka harus tetap melangkah karena cuaca digunung tak dapat diprediksikan.


Ditengah perjalanan, mereka menemukan strawberry hutan, dan mereka mencicipi buah pemberian Tuhan melalui gunung. Mereka bersantai sejenak sembari melihat pemandangan indah dengan langit cerah. Namun baru 2 menit mereka merasakan indah nya pemandangan dengan langit yang cerah, kini tiba tiba kabut datang dan jarak pandanga pun hanya berjarak 1 meter, lebih dari itu yang terlihat hanya putih.

“Kita harus lanjut, sebelum ada badai dateng. Tapi jaga jarak, depan jangan terlalu cepet ya Dhan. Terus kalo emang yang depan udah gak keliatan, teriak aja, biar yang depan nunggu, pokoknya jangan pernah pisah dari kelompok. Okee !!” Leo berkata.

“oke siappp..Dhan koe depan , aku nek buri ae okee” Jebraw meminta. Mereka pun melanjutkan perjalanan kembali. Sore itu pukul 15.30, hujan mulai turun disertai kabut yang semakin tebal. Dan kini mereka memasuki hutan kembali. Ditengah perjalanan, mereka mulai bisa melihat adanya pohon pohon edelwis atau bunga keabadian. Namun kabut semakin lama semakin tebal, dan jarak pandang semakin dekat, namun keadaan ini tak berlangsung lama. Kabut perlahan pergi bersama hujan.

Semakin masuk kedalam hutan dengan jalan yang cukup datar, dan mereka sampai dijalan yang mulai menanjak kembali, dengan tanah yang licin dan banyaknya pohon yang tumbang menghalangi jalan mereka. Bukan hanya track yang semakin sulit, kini hujan dan kabut yang lebih tebal kembali menimpa mereka semua. “kumpul dulu...” teriak Leo. “kabut makin tebel, track juga makin susah, perhatiin temen jangan mentingin diri sendiri, disini yang penting kita semua selamet bukan gua atau elu aja yang selamet tapi semuanya. Kita berdoa dulu sebelum lanjut lagi...” Leo berkata lagi. Dan mereka pun berdoa ditengah tebalnya kabut dan guyuran air hujan.

Setelah berdoa mereka melanjutkan perjalanan kembali dengan track dihalangi oleh pohon pohon yang tumbang. “ini kabutnya tebel banget, gua sampe bisa ngeliat titik titik airnya jalan di depan mata gua” Leo berbicara sendiri. Mereka terus mendaki dan terus mendaki ditengah hujan dan tebalnya kabut, dan sesekali terdengar suara “awas hati hati harus jongkok, ada pohon” , atau “awas jangan pegangan disekitar sini, taneman duri semua adanya”.

Terus mendaki hingga mereka sampai ditanah lapang yang luas sekali. Kabut perlahan mulai menipis dan jarak pandang pun kembali seperti semula. Namun rasa mencekam mulai menaungi mereka ditempat ini. “Ini pos 3 namanya Kargo Pasar, biasanya disebut Pestan atau Pasar Setan... ada pantangan disini, pertama gak boleh buang air disini mau air besar atau air kecil, jangan berisik, gak boleh pake baju warna merah, dan usahain kita gak ngecame atau nge diriin tenda disini. Mending jalan terus aja” Leo menerangkan tempat yang membuat mereka bergidik ngeri.

Mereka pun kini lepas dari dalam hutan dan cuaca mulai cerah kembali namun jalan yang mereka lalui semakin menanjak. Mereka berhenti sejenak sambil berbalik arah dan melihat pemandangan kota Salatiga, Kab. Semarang, dan gunung ungaran. Mereka terlalu asik dengan pemandangan yang indah sehingga mereka lupa waktu.



Saat ini pukul 17.30 ,hari semakin gelap dan mereka masih di jalur yang sangat menanjak, sehingga tidak mungkin untuk mendirikan tenda. Mereka pikir, mereka bisa cepat sampai ke base point atau pos 4 dan biasa disebut pos pemancar, karena disana terdapat menara pemancar yang sudah tak terpakai. Namun ternyata hujan kini mulai mengguyur mereka kembali, dan gelap pun mulai menyapa. Track yang mereka lalui kini benar benar menanjak, mereka harus merangkak atau pendaki biasa menyebutnya kepala ketemu dengkul, karena jika tidak hati hati dan extra waspada, dengkul teman bisa menghajar kepala karena terpeleset.

“Dhan, Braw, head lamp nya nyalain.. udah gak mungkin kalo tanpa head lamp, track nya masih bakalan tambah vertikal, ditambah ujannya makin deres. Ayoo cepet sebelum badai dateng” teriak Leo.
“iyoo ayooo,, tp tetep hati hati karo foqus, sing penting selamet” potong Genta.

Namun fisik mereka mulai melemah, dan track semakin vertikal saja. Leo sudah tak mampu merangkak kembali. “Yo , wes kene tas mu, biar aku yang bawa, aku masih kuat” teriak Ramdan , “ah gak usah Dhan, elu entar keberatan, malah tambah susah jalannya kan masih terus kaya gini....” jawab Leo. “udah gapapa, dari pada kamu kaya gitu, kecapen. Udah sini tasnya terus kita lanjut lagi, udah gelap ini” sembari menarik tasnya Leo.
Dan mereka pun terus merangkak dengan Ramdan sebagai sweeper dan membawa  2 tas day pack, Genta di posisi 2 dengan carrier, Leo diposisi 3 dengan lelah nya, dan diposisi ke empat ada Jebraw dengan day pack dan lelah nya.  Semua nya berjalan merangkak disertai lelah nya masing masing. Hingga akhirnya mereka sampai di pos pemancar atau pos 4 , dengan ketinggian 2.883 mdpl.

Mereka sampai pada pukul 18.30, disertai guyuran hujan, dan angin yang sangat kencang dan kabut yang semakin tebal. Mereka berteduh didalam bangunan pemancar dari badai. Didalam bangunan sudah ada beberapa pendaki yang membuat api unggun dengan alas papan petunjuk bahwa ini adalah pos 4. Mereka pun ikut menghangatkan diri, dan mulai berbincang dan bercanda ala pendaki.

Pukul 22.00 mereka mendirikan tenda, sembari memasak mie instan dan kopi untuk menghangatkan tubuh, sebab hujan sudah reda, namun kabut masih sangat tebal. Dan suhu saat itu mungkin telah jatuh sampai hanya 5 derajat celcius. Dan semakin malam akan semakin jatuh, bahkan sampai dibawah 0 derajat.

Pukul 23.00 mereka tidur. dengan matras sebagai alas dan 1 Sleeping bag sebagai alas dan 1 lagi sebagai selimut, agar mereka semua tidak terkena hipotermia. Sebelum tidur Leo berkata, “besok kalo cerah, kita summit jam 3 berangkat, jadi tidur yang maksimal”. Summit adalah kata lain untuk mencapai puncak.

Pukul 2.59, Leo terbangun dan pergi keluar tenda untuk melihat cuaca. “alhamdulillah cuacanya cerah....”.Leo bersegera membangunkan teman-temannya. Pagi itu cuaca cerah dan gemintang dilangit terasa sangat dekat, mereka dibumi tapi dekat sekali dengan langit. “kita bikin kopi sama sarapan dulu aja, baru summit, masak nasi sama sardennya. Leo masak air buat kopi, aku, Jebraw sama Ramdan masak nasi sama sardennya” teriak Genta.

Akhirnya mereka sibuk dengan kegiatan mereka masing masing. Namun “namanya juga gunung sekarang cerah 2 detik kemudian langsung ujan, itu mah biasa” itu adalah pengakuan para pendaki, dan benar saja , sekarang hujan turun dan langit hujan kembali. Dan mereka menunda summit sampai cuaca cerah.

Sembari menunggu cerah, mereka sarapan dan meminum kopi juga susu panas, untuk menjaga tubuh agar tetap hangat. Dan subuh pun tiba, mata jendela fajar. Mereka shalat subuh 2.300 meter diatas permukaan laut. Tepat dihadapan mereka terhampar luas lautan awan seperti kapas, yang bergulung gemulung. Seakan Tuhan menyambut mereka dengan keindahan ciptaan-Nya, dan monyet-monyet penghuni gunung pun seakan ikut bertasbih bersama mereka, berada tepat dibelakang mereka yang sedang shalat. Saat itu mereka berada dibumi namun sangat dekat dengan langit.

Pukul 7.00 mereka pun summit menuju puncak syarif 3.119 mdpl. “sumpah ini kerrrren banget, asli kita diatas awan” Leo berdecak kagum. ”cuk foto cuk, arep tak upload nek facebook ki” Genta memulai mendukumentasikan momen indah ini, dan diikuti oleh teman temannya.
Cuaca cerah kala itu, hempasan angin yang kencang membuat hamparan ilalang dipunggung gunung bergoyang mendayu-dayu seperti sedang mendengar orkes dangdut. Tak lama di puncak syarif mereka menuju puncak Kenteng Songo 3.145 mdpl puncak tertinggi gunung merbabu.



Track menuju puncak kenteng songo adalah puncak tantangan digunung merbabu, sebab track yang dilalui adalah jalan setapak yang mengitari punggung puncaknya, kemudian track nya adapula yang berbentuk vertikal, sehingga para pendaki harus memanjat tebing tebing yang menjadi jalurnya.

Belum selesai dengan jalur vertikal, kini mereka harus menghadapi jalur maut yang biasa disebut jembatan setan. Jembatan setan adalah satu satunya jalan yang harus dilalui oleh setiap pendaki yang ingin mencapai puncak kenteng songo. Jalur ini dinamakan jematan setan, sebab jalur ini hanya berupa tebing yang sangat tinggi dengan pijakan hanya selebar telapak tangan orang dewasa saja. Cara melaluinya adalah dengan “melipir” atau climbing , atau merayap berpegangan ke dinding tebing, sebab jalur ini membentang secara horizontal sejauh 10 meter dengan kontur yang tak rata.


“semuanya hati hati, kita lewat jembatan setan bro” seorang pendaki lain sedang berbicara pada kelompoknya. “mas ini gak ada jalur lain selain lewat sini?” tanya Genta kepada salah satu pendaki yang turut menganteri untuk melewati jembatan setan. “gak ada mas, ini jalur satu satunya ke kenteng songo, harus hati hati mas, licin tebing nya, belakangnya jurang, kepeleset sedikit bisa ilang bahkan lewat mas” jawab pendaki itu kepada Genta.

“kita doa aja dulu, pelan pelan ngerayapnya, saling jaga dan saling doa bro” Jebraw angkat bicara. “iya kita doa dulu, berdoa dimulai..........selesai” Ramdan memimpin doa. Perlahan kabut mulai melingkupi jembatan setan bertepatan dengan giliran 4 sahabat ini akan melaluinya.

“kabut bro, gerimis juga, piye ki, spatuku licin eg” Jebraw mulai gentar. “udah yakin aja kita pasti bisa, banyak yang bisa kok Braw, udah gua didepan abis pendaki itu, Ta elu abis gua, terus elu Braw, dilanjut sama elu Dhan, kita merayap satu satu, jaga dan perhatiin batu yang dipijak. Satu lagi, inget terus sama Tuhan. Ayo gerak sebelum tambah licin, ujan mulai deres, bismillah....”.
“gimana Ta, jangan gemeteran, yakin aja kita pasti bisa, jangan liat kebelakang, perhatiin tebing nya aja, oke.” Leo meyakinkan Genta selagi memilih pijakan tebing. “sraakkkkk!!!!!...” “Allah huakbar,, arrrgghhhh licin bangett..” , “Dhan kenapa Dhan??”, “uwes aku ra popo Braw, lanjut meneh”, “ya wis, alon alon wae, semangattt!!” Jebraw menyemangati Ramdhan.
“alhamdulillah kita selamet....”, “belom Yo, liat depan, kita harus manjat keatas tebing”, ”ampun tinggi banget bro.....”. mereka harus melewati titian tebing dengan cara memanjat, dan lagi yang menunggu mereka adalah jurang yang menganga dengan tebalnya kabut. “udah ayo lewatin, kita pasti bisa!!!!” Leo mencoba menyemangati kawan kawannya.

Dengan usaha dan keberanian serta keyakinan pada diri dan Tuhan akhirnya mereka pun sampai di puncak kenteng songo. Puncak tertinggi gunung merbabu, 3.145 mdpl. Namun sayangnya karena kabut, mereka tak mampu menikmati keindahan puncak kenteng songo dan hamparan samudera diatas awan. Namun mereka masih mampu menikmati betapa terjalnya jalur yang mereka tempuh. Sembari memakan biskuit dan air mineral, mereka menikmati padang edelwis yang terhampar luas disekitar mereka. Tak ada yang berhak untuk dimintai pertolongan selain Tuhan, dan hanya kepadaNyalah kita bergantung.


“Tuhan tak mengenal batasan, Tuhan tak mengenal batasan, terkadang kita manusia menjadi batasan batasan itu sendiri, Tuhan tak mengenal batasan..” Leo bernyanyi.Kemudian mereka turun kembali melewati jalur yang sama, yaitu jembatan setan, dengan rasa yang tak berubah seperti saat mereka melaluinya tadi. Namun Tuhan masih setia melindungi mereka, dan mereka pun kembali ke pos 4 untuk berkemas kembali. Dan pukul 12.00 mereka turun dari pos 4 menuju base came untuk pulang.

Track menurun semakin sulit karena jalan semakan licin dan mereka harus menahan beban tubuh agar mereka tidak tergelincir dan masuk ke jurang. Leo dalam perjalanan pulang, lebih sering meminta break. Dengan alasan kakinya sakit dan tak kuat lagi untuk mengerem tubuhnya.

Namun mereka berempat adalah manusia manusia yang bijak. Mereka mampu menahan ego mereka untuk kepentingan bersama. Leo lelah, mereka berhenti. Jebraw lapar, Mereka berhenti untuk makan, Genta ragu, Leo meyakinkannya, Ramdhan meski nafas dan kakinya seperti unta, minum hanya sedikit, membawa 2 day pack sekaligus, dia tetap berlari menuruni gunung, jika merasa terlalu jauh dari temannya, dia berhenti untuk menunggu temannya.

Sampai pukul 15.00 mereka sampai dibase came cuntel, dan mereka pulang ke rumah masing masing dengan pakaian penuh lumpur dan hidup penuh kebijaksanaan dan pelajaran.

Mendaki gunung bukan sekedar perjalanan alam, melainkan perjalanan hati, pendidikan dan pembentukan karakter manusia teruji pada perjalanan naik gunung, karena saat naik gunung, manusia hanya mampu meminta tolong kepada Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah Swt.

Manusia yang bijak adalah manusia yang mau menahan egonya untuk orang lain dan berusaha mengerti apa hakikat Tuhan memberinya kehidupan. Digunung, manusia akan merasa sangat kecil dan bersyukur pada apa yang mereka telah miliki. Hakikatnya manusia adalah mahluk yang paling membutuhkan Tuhan, dan kebijaksanaan lahir dari hubungan manusia yang berusaha mendekat kepada Tuhan nya.

Serta mengetahui bahwa ia hanyalah mahluk yang paling tidak mengetahui sesuatu apapun tanpa Tuhan nya. Dengan sikap ini maka akan terbukalah mata manusia bahwa siapa ia dan untuk apa ia diciptakan layaknya jendela yang diciptakan untuk menyambut sang fajar. 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar